KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

Dan bahagia itu ...?

Dan bahagia itu ...?

“Bahagia itu pilihan? Pemberian ? Apa hasil sebuah proses?” seorang kawan melontar Tanya.
Bajindul! Abu-abu, ungu, merah, hitam, oranye atau warna entah? Senyum tipis kalis bersama umpat musim gugur di kaca pekat itu.

“Maaf kawan pertanyaanmu terlalu 'sederhana'!” Menyeringai mencoba mengusap langit untuk sedetak.
Bahkan saking sederhananya orang akan menjawab dengan jawabanya sendiri atau mungkin malah tidak akan menjawab karena betapa estetisnya kata itu.
Bahagia adalah satu, bahagia yaitu A, bahagia merupakan darah, bahagia sama dengan batu, bahagia berarti hidup, bahagia, …bla bla bla….

Tak tertilik lagi hawa ceria semenjak kurapikan jendela, raut sore yang terenggut legam malam. Musprakah bahagia?
Ah, kata itu menengadah lagi kawan!

Kalau kujawab pilihan, hidup itu sendiri bukan pilihan melainkan harus dijalani. Jika kupilih pemberian, atas prestasi apa sehingga harus “diberi”.
Andaikata kubilang hasil sebuah proses bukankah hasil itu merupakan produk jadi yang kemudian di pakai dan bersifat permanen.
Apakah bahagia seperti itu?

Raksasa kala mulai mengintip di sela bintik-bintik pinus, para pujangga kaendran mengabai meski kadang terbantahkan oleh makluk kecil madhyapada.
Memanifestasikan urat hidup sekali tempo mereka tekukkan sendiri menjadi sendi sendi tanya yang harus ditimpali.

Bahagia adalah perasaan nyaman, bebas dari hal hal mengganggu. Itu wacana yang ku sambangi dalam penghantar di depanku.
Perasaan nyaman? rasa? sesuatu yang tak teraba dan punya takaran berlainan ditiap manusia. Energi rasa ada di pikiran kah?atau di hati kah?

Untuk tak terhitung lagi jaring-jaring lembab di musim ketiga berayun, mengantarkan sukma pada sebuah petak yang nyaman dibawah sana.
“semoga kamu menemukan bahagia le!” potongan selembar mantra itu yang selalu mencoba terpasak dibenak.
Pikiran terjaga, hati tak mati. Pikiran berinisiatif, hati memberi nurani. Pikiran dan nurani?

Suatu waktu WT gadis 16 tahun tetangga sebelah harus berurusan dengan antek-antek peradilan.
Semak mencekam, dua pemuda tanggung menyergap mencoba merenggut keperawananya, salah satu pemuda ditusuk dengan “nurani” (ranting ).
Nurani: “lakukan atau kau yang akan mati!”

Bahagia entah bernurani atau tdak bernurani.

“Terimalah perhiasanku ini nak." kata Dewi Sukesi. Perempuan tua itupun mengalungkan untaian kembang Kenanga di dada Kumbakarna! Mendadak alam membalik kemasa lalu, hujan Kenanga dimana-mana, gelombang lautan hendak menelan, kematian berjalan mengintai. Dewi Sukesi tahu, penderitaan itu ternyata demikian indahnya, kebahagiaan seakan hanya keindahan yang menipu. Dan ia malah membuang miliknya yang paling berharga, kebahagiaanya sendiri.*

Samsara anak-anak bajang menjelma bahagia di ujung sekat sana, bahagia tak lebih dari suatu derita.

Jadi? Hmmmm, kawan Jadi bisa bukan ketiga tiganya atau tidak bukan ketiga tiganya.

Malam semakin terlumat, merunut hawa yang harus diberi makna. entah untuk saat ini atau saat yang akan lewat, guratan garis itu tertuju kepada sosok Al Wajid ( Maha Penemu ).

“Mari menuju bahagia kawan!”




- “Bahagia adalah saat keberadaanku memberi arti bagi orang lain dan saat kehadiranku tidak mengusik orang lain” ( Winarno Hadi Saputro, 2003 )






Dasan, Korea Selatan. 00 :58, 22 September 2010.

0 komentar:

Posting Komentar