KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

Skema Di Balik Ketenaran K-Pop

Skema Di Balik Ketenaran K-Pop

Dewasa ini industri hiburan di Korea Selatan telah mengalami perkembangan yang luar biasa, gelombang Korea (Korean wave) atau yang disebut hallyu memang sudah menjalar ke seluruh pelosok dunia. Budaya Korea semakin disukai, drama Korea punya banyak penggemar serta Korean music pop (K-Pop) menjadi trend setter di banyak negara belakangan ini. K pop tersebut kemudian menjadi kiblat dan ditiru mulai dari warna musik, gaya busana serta aksi panggungnya oleh para peminatnya.

Di dalam negri Korea selatan sendiri musik pop telah mendapatkan tempat di hati para penggemarnya. Untuk melihat konser para bintang K-Pop, mereka harus membeli tiket yang paling murah saja seharga 100 ribu Won atau sekitar 800 ribu Rupiah untuk sekali pertunjukan, sebuah harga yang dikategorikan cukup mahal bahkan untuk orang Korea sekalipun.

Namun demikian kepopuleran K-Pop tersebut bukanlah sebuah kebetulan semata, melainkan ada sebuah skenario sistematis yang dilakukan pemerintah dan industri hiburan Korea Selatan dengan memanfaatkan orang-orang asing seperti dari Italia, Amerika serikat, Rusia, Australia, China, Spanyol, Singapura, Thailand, Philipina, Indonesia dan berbagai negara lainnya yang tinggal di Korea Selatan.

Beruntunglah pada suatu kesempatan saya bisa menemui satu orang asal Indonesia yang ikut memopulerkan K-Pop tersebut. Namanya Ai Melani, di sela-sela kesibukannya merampungkan kuliah S3 teknik nuklir di KAIST ( Korea advanced institute of science and technology) kota Daejon dan sebagai Tutor Universitas Terbuka Korea Selatan, perempuan asal Sukabumi, Jawa Barat yang sudah 4 tahun tinggal di Korea ini bersedia saya wawancarai mengenai keterlibatanya dalam memopulerkan K-Pop.

Keterlibatanya dalam memopulerkan K-Pop ketika ia tergabung dalam World Students in Korea yaitu sebuah pekumpulan yang dibuat oleh Presiden Council Board ( semacam menteri komunikasi Korea) dengan merekrut para bloger asing baik yang berada di Korea Selatan maupun bloger dari luar Korea Selatan untuk menulis tentang K-Pop dan menyebarkanya ke negara masing-masing. Para bloger ini diberi “tugas” untuk memasarkan melalui blog ataupun dengan mengupdate status lewat jejaring sosial yang sedang tren saat ini seperti facebook, Twitter, Google+ dan lain sebagainya yang terbukti efektif dalam penyebaran informasi dengan cepat. Dari itu tiap hari Ai Melani menerima 200 an email yang menanyakan tentang Korea Selatan terutama tentang K-Pop yang harus ia jawab. Dari 200 an penanya tersebut, mereka biasanya juga akan menulis informasi yang telah didapat ke dalam blog atau jejaring sosial milik mereka, begitupun orang yang membaca tulisan mereka akan melakukan hal yang sama begitu seterusnya sehingga akan terjadi penyebaran semacam MLM (multi level marketing) dan itu baru dari Indonesia dan dari satu orang saja.

Sebagai reward atas yang telah dilakukan para bloger yang mayoritas pecinta K-Pop ini, mereka mendapatkan tiket gratis menonton konser live band-band Korea dan juga tiket pesawat gratis. Sedangkan untuk best bloger selain memperoleh produk-produk made in Korea mereka juga akan menjadi member M-NET Global Supporter, M-NET adalah salah satu chanel musik televisi di Korea Selatan (Korean MTV). Para member M-NET Global Supporter tersebut akan menjadi tamu VIP dalam acara live show, mereka dapat bertemu bahkan berbincang langsung dengan para bintang-bintang K-pop di Korea Selatan tetapi dengan catatan setiap minggu harus memosting tentang K-pop di jejaring sosial milik mereka. Bagi Ai Melani bertemu para artis K-Pop bukanlah hal yang luar biasa karena dalam seminggu ia bisa empat kali bertemu bintang K-Pop seperti Rain, SUJU, SNSD dan lainnya.

Meskipun begitu ketenaran para bintang K-Pop ini juga didukung dari sang talent artis K-Pop itu sendiri, mereka adalah orang-orang terpilih melalui audisi yang ketat kemudian ditraining sesuai kebutuhan sebelum diterjunkan ke industri hiburan jadi selain berparas menarik, mereka juga benar-benar punya kualitas suara. Sebagai uji coba mereka diterbitkan di industri hiburan lokal dalam negri untuk melihat sejauh mana respon audien sebelum diproyeksikan ke mancanegara.

Sebuah strategi yang sejauh ini berhasil dengan mensinergikan antara pemerintah, industri hiburan, talent, masyarakat dalam negri, masyarakat asing dan media informasi. Jadi bukan sekedar latah dengan menerbitkan band-band karbitan dengan mengabaikan unsur kualitas. Kabarnya Korea selatan juga akan melakukan langkah yang sama terhadap bahasa nasional mereka yaitu Bahasa Korea dimana beberapa tahun terakhir ini mulai dibangun lembaga-lembaga pembelajaran bahasa Korea gratis bagi orang asing yang tinggal di Korea Selatan dalam rangka menjadikan bahasa Korea sebagai bahasa internasional bersama dengan bahasa Inggris, tetapi apakah langkah ini bisa sesukses K-Pop kita lihat saja beberapa tahun ke depan.

Di Negara kita Indonesia sebenarnya juga punya potensi yang tak kalah dengan Korea selatan, kita punya warna musik yang lebih beragam, punya jumlah penduduk lebih banyak yang menyebar di negara-negara seluruh dunia, serta jumlah orang asing cukup banyak yang tinggal di Indonesia. Data terakhir dari KBRI Seoul tahun 2011 bahwa jumlah orang Korea yang tinggal di Indonesia kurang lebih 35.000 orang, hampir sama dengan jumlah orang Indonesia yang tinggal di Korea Selatan yaitu 38.000 orang dan itu baru dari Korea Selatan saja. tinggal bagaimana mensinergikan antara pihak-pihak terkait atau mencari formula baru dengan mengoptimalkan apa yang telah ada untuk lebih mengenalkan Indonesia beserta potensi dan budayanya dalam kancah Internasional.

Korea Selatan dan Wajib Militernya

Korea Selatan dan Wajib Militernya



Begitu menginjakan kaki di Korea Selatan tahun lalu kesan masyarakat yang teratur dan lingkungan yang nyaman begitu tampak, begitupun saat bekerja di perusahaan yang menjadi tempat kerja saya sekarang, saya langsung diperkenalkan dengan budaya orang-orang korea yang pali-pali (serba cepat), pernah suatu ketika teman saya orang Indonesia ikut tour yang mengharuskan berangkat jam 12 siang, namun dikarenakan jarak tempat yang cukup jauh dan bangunnya kesiangan maka teman saya mencoba naik taksi sambil menelpon orang Korea yang menjadi sopir bus travel untuk menunggu 5 menit tetapi tetap saja sang sopir meninggalkannya. “hanya” karena terlambat 5 menit teman saya harus kecewa dengan merelakan uang yang telah dibayarkan untuk tour maupun untuk membayar taksi yang begitu jauh.

Banyak hal yang mempengaruhi kehidupan orang Korea yang akhirnya menjadi kebiasaan tersebut salah satunya adalah gundae (Wajib Militer), meskipun tidak semua warga Korea Selatan setuju dengan kebijakan ini. Satu diantara warga tersebut adalah Jang Myung Jin, pemuda 25 tahun yang tinggal di kota Daegu ini sudah setahun berteman dengan saya. pada suatu kesempatan saya sengaja menemui Jang Myung Jin untuk sekedar bertanya perihal ketidak ikut sertaanya dalam gundae. Ia memang pemuda yang ramah, ketika itu ia baru saja datang dari kage (super market mini) dan sayapun disuguhi kokuma pang (roti yang berbahan dasar dari ubi jalar). Kokuma pang menjadi penganan yang ekskulusif di Korea Selatan karena harganya yang lumayan mahal, bayangkan dengan uang 3 ribu won atau sekitar 24 ribu rupiah hanya mendapatkan satu kemasan plastik yang berisi 5 butir ubi ukuran sedang, dengan uang segitu di kota saya Karanganyar, Jawa tengah, tentu bisa untuk membeli satu karung ubi jalar.

Sembari menikmati kokuma pang, Jang Myung Jin menjelaskan tentang “kemangkirannya” dari kewajiban militer. Menurut kepercayaan yang ia anut ikut Wajib Militer berarti dilatih untuk berbuat keras, memegang senjata dan belajar menembak yang ia artikan sebagai manifestasi persiapan perang, kalaulah terjadi perang maka akan terjadi saling bunuh dan ia tidak ingin membunuh. Karena alasan itulah ia tidak mau mengikuti Wajib Militer, tentu saja Jang Myun Jin dikenai sanksi oleh Negara dengan hukuman penjara, hukuman bagi laki-laki warga Korea yang “membelot” dari pangilan wajib militer adalah 1 tahun 6 bulan tapi jangan dibayangkan kalau penjara di Korea Selatan begitu menyeramkan, Jang Myung Jin menceritakan bahwa penjara di Korea Selatan seperti sebuah kota kecil yang lengkap dengan fasilitasnya, ia pun juga digaji selama berada dipenjara meski jumlahnya sangat kecil.

Wajib Militer di Korea Selatan telah dimulai pada tahun 1950 an ketika meletus Perang Korea (Korea Selatan dan Korea Utara), sejak saat itu setiap laki-laki yang telah berusia 20 tahun diharuskan mengikuti Wajib Militer karena secara teknis hingga saat ini status Korea Selatan dan Korea Utara masih dalam keadaan berperang, gencatan senjata yang dilakukan pada tahun 1953 hanyalah perjanjian yang secara hukum tidak bersifat permanen. Hal tersebut juga diungkapkan oleh salah seorang atase bidang pertahanan KBRI ( Kedutaan Besar Republik Indonesia) Seoul dalam sebuah pertemuan beberapa waktu lalu yang menyampaikan himbauan kepada seluruh Warga Negara Indonesia di Korea Selatan untuk tetap waspada terkait status Korea Selatan dan Korea Utara yang sebenarnya masih dalam status berperang. Namun demikian Wajib Militer di Korea Selatan telah mengalami perkembangan sesuai dengan situasi pemerintahan dan negara saat ini berbeda dengan era perang yang benar-benar ditujukan untuk berperang, para pemuda yang telah memasuki usia Wajib Militer usia 20 tahun boleh meminta penangguhan sampai usia 30 an tahun, merekapun boleh memilih unit korps yang disukai. Haegun (Angkatan Laut), Gonggun (Angkatan Udara ) atau Yukgun (Angkatan Darat).

Selama 2 tahun mereka dilatih kemiliteran serta menembak, setelah 100 hari diperbolehkan libur selama beberapa hari, maka tak heran jika kita sedang berjalan di kota-kota di Korea Selatan sering melihat pemuda berpakaian tentara, karena semua laki-laki warga Korea (hanya Warga Negara Korea Selatan saja) memang diharuskan mengikuti Wajib militer, kecuali orang yang karena syarat tertentu dibebaskan dari Wajib Militer oleh pemerintah Korea seperti orang cacat, orang yang menjadi tulang punggung keluarga (tidak ada yang menopang kehidupan keluarga), orang dengan prestasi tertentu, orang yang dianggap berjasa terhadap negara, orang yang telah terikat dengan instansi negara dan laki-laki yang telah menikah sebelum usia Wajib Militer. Beberapa orang tersebut selain ada yang dibebaskan Wajib Militer tapi juga ada yang cuma diwajibkan selama 1 bulan saja. Awalnya saya kira mereka adalah tentara pemerintah ( profesi tentara ) ternyata kebanyakan dari mereka adalah pemuda yang sedang menjalani Wajib Militer ataupun sedang mengikuti pertemuan, karena agar tetap dapat mengingat materi dalam gundae mereka juga diharuskan mengikuti pertemuan tiap tahun sekali atau dua kali.

Teman saya Jang Myun Jin mengungkapkan bahwa Wajib Militer memang dapat membentuk jiwa disiplin tetapi disisi lain juga dapat menciptakan aroganisme, Wajib Militer akan efektif jika negara benar-benar dalam keadaan berperang. Di akhir obrolan sore itu Jang Myun Jin berbalik bertanya kepada saya, adakah wajib militer di Indonesia? bagaimana kira-kira kalau di Indonesia diberlakukan Wajib Militer? Sebuah pertanyaan yang saya sendiri tidak bisa mereka-reka. Memang perlu adanya perbaikan untuk membentuk masyarakat yang disiplin tetapi apakah dengan cara Wajib Militer diberlakukan di Indonesia yang tentu saja akan butuh biaya yang sangat besar ditengah-tengah perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Entahlah? Yang jelas saat ini yang dibutuhkan Indonesia bukanlah sekedar produk-produk pemikiran saja melainkan juga tindakan yang didasari kesadaran sebagai warga negara untuk memajukan negaranya sendiri, Indonesia.

Seorak San Gunung Empat Musim Nan Menawan

Seorak San Gunung Empat Musim Nan Menawan

Sebenarnya sudah lama saya mendengar nama obyek wisata Seorak San, bahkan ketika saya belum datang ke Korea, tetapi baru liburan musim panas kemarin saya berkesempatan bisa mengunjungi taman nasional yang terkenal di Korea selatan itu. Taman nasional Seorak san (gunung Seorak) berada di wilayah Kangwondo, satu dari sembilan propinsi di Korea selatan yang letaknya di timur laut berbatasan dengan Korea utara. Untuk menuju ke Seorak san dapat ditempuh dengan naik bus umum dari Seoul yok (terminal Seoul) ke terminal Sochok sekitar satu setengah jam dilanjutkan dengan naik bus kota dengan tarif 1.200 won (sekitar 9.000 rupiah) selama 20 menit atau naik taksi dengan tarif 9.000 won (sekitar 70. 000 rupiah).

Pada saat musim libur di Korea selatan, gunung Seorak selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun luar negri baik pada saat liburan seollal (tahun baru Korea), liburan chuseok (festival hari panen) ataupun hari libur di musim semi, musim panas, musim gugur dan bahkan di musim dingin. Karena gunung Seorak selalu menyajikan keindahan pemandangan yang berbeda di empat musim yang berbeda pula. Pada saat musim semi gunung Seorak menawarkan pemandangan hijau dihiasi aneka warna bunga yang mulai mekar, pada saat musim panas aneka spesies langka akan nampak terlihat di gunung ini diantara pohon pinus merah sedangkan saat musim gugur pepohonan mulai berubah warna menjadi merah dan kuning, dedaunan jatuh berserakan sesekali terbang tertiup angin dengan udara yang cukup sejuk, dan pada saat musim dingin gunung Seorak dihujani salju lebat nan tebal menutupi bukit-bukit ataupun menyangkut di atas pepohonan di sela-sela ranting, itulah sebabnya gunung ini dinamakan Seorak san (gunung salju) karena pada saat musim dingin gunung ini tertutup salju yang putih seperti kapas. Sungguh menawan memang ditambah dengan ketersediaan fasilitas yang mewadai membuat liburan ke Seoraksan menjadi mengesankan.

Area taman yang nyaman dilengkapi toilet yang bersih dan lahan parkir luas didepan loket masuk menjadikan akses ke gunung Seorak ini menjadi mudah, dengan harga tiket masuk seharga 11.500 won (sekitar 90.000 rupiah) pengunjung dapat menggunakan cable car (kereta gantung) untuk menuju puncak karena memang ada dua alternatif jalur untuk sampai ke puncak gunung yaitu jalur pendakian jalan kaki yang ditempuh selama beberapa jam melewati jalan setapak tanah dengan batang-batang kayu yang dirajut kawat sehingga jalan tidak licin untuk dilewati atau jalur cable car yang cukup ditempuh kurang dari 10 menit. Meskipun ketinggian puncak gunung seorak hanya 1.708 meter di atas permukaan laut masih lebih rendah dengan ketinggian gunung-gunung di dekat tempat tinggal saya di Solo, Jawa Tengah dimana terdapat pegunungan seperti gunung Lawu, gunung Merapi, gunung Merbabu dan lainnya dengan ketinggian lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut tetapi saya ingin mencoba untuk menikmati keindahan gunung dari udara dengan naik cable car, sebuah akses muncak yang belum pernah saya rasakan di Indonesia namun di Korea selatan hampir semua obyek wisata gunung telah dilengkapi dengan transportasi cable car ini.

Di dekat pintu jalur pendakian, pengunjung dapat membeli aneka souvenir dengan harga dari 3.000 won (sekitar 23.000 rupiah) yang langsung dibuat oleh para biksu Budha, pengunjung juga dapat melihat aktivitas para biksu tersebut di area gunung Seorak ataupun saat berdoa di dekat patung budha besar asobya dengan posisi tangan bumi sparsa mudra yang berarti memanggil Dewi bumi sebagai saksi.

Tak jauh dari tempat itu terdapat seorang pengukir yang dengan imbalan jasa 25.000 won (sekitar 200.000 rupiah ) dapat mengukir nama dan asal pengunjung pada sebuah tanah liat kering berbentuk gentheng yang kemudian diletakan berjajar dengan harapan apa yang menjadi keinginan dapat terkabul. Dan setelah melihat gentheng-gentheng berukir itu saya jadi tahu ternyata banyak sekali orang Indonesia yang telah berkunjung ke gunung Seorak karena namanya terukir di gentheng tersebut.

Di sebelah sisi kiri pintu jalur pendakian terdapat jembatan yang tersusun dari bebatuan terpola di atas aliran sungai nan bening, beberapa ratus meter dari jembatan terdapat pemandangan aneh yaitu sebuah kran tergantung di angkasa tanpa peyangga maupun penggantung namun dapat mengeluarkan air. Kran tersebut ditunggui oleh seorang laki-laki yang sekaligus menjajakan minuman anggur yang diracik langsung dari tangannya sembari pengunjung dapat menikmati pemandangan unik itu.

Perjalanan saya ke gunung Seorak memang sangat mengesankan setelah sekian lama saya ingin mengunjungi tempat tersebut, dalam suatu kesempatan di gunung Seorak saya bertemu turis asal Eropa yang pernah mengunjungi pegunungan di Indonesia sebanyak dua kali dan kali itu ia mencoba untuk berwisata ke gunung Seorak. Gunung Seorak meski terletak di ujung bagian negara Korea selatan tetapi dengan daya pesonanya mampu menarik wisatawan lokal maupun mancanegara dan selalu ramai di setiap musim, itulah sebabnya saya menyebut gunung Seorak ini sebagai gunung empat musim nan menawan.

Valentine’s Day Ala Negri Gingseng

Valentine’s Day Ala Negri Gingseng

Lumrahnya hari valentine seperti yang kita kenal memang dirayakan pada tanggal 14 Februari, budaya ala barat yang disebut sebagai hari kasih sayang ini memang sudah menggejala ke belahan dunia bahkan sudah menyebar ke Indonesia hingga sampai ke kota-kota kecil. Pada hari valentine pusat-pusat perbelanjaan banyak menawarkan aneka coklat dengan berbagai bentuk, para muda- mudi saling berucap kasih bersama pasanganya ataupun hang out ke tempat-tempat romantis.

Namun Valentine’s day pada tanggal 14 Februari nampaknya kurang begitu popular di Korea Selatan, pernah suatu ketika pada hari valentine saya mencoba menanyakan tentang perayaan valentine di Korea Selatan kepada beberapa teman orang Korea tetapi justru mereka berbalik bertanya tentang Valentine’s day itu sendiri kepada saya. Ternyata Korea Selatan punya perayaan tersendiri yang mirip dengan hari Valentine yaitu Pepero Nal ( Pepero Day ) atau Hari Pepero. Tahun lalu saya pernah mendapatkan beberapa bungkus makanan ringan yang berbahan dasar coklat dari rekan-rekan kerja saya dan tahun ini pada tanggal dan bulan yang sama yaitu 11 November saya mendapatkanya lagi dari rekan-rekan kerja saya, begitupun di jalan-jalan banyak saya lihat orang orang Korea saling bertukar makanan ringan yang sama, baru saya tahu ternyata coklat yang diberikan kepada saya ataupun yang saling ditukarkan itu adalah Pepero.

Pepero merupakan penganan yang terbuat dari kue batangan yang bagian atasnya dicelupkan ke dalam coklat sehingga berbentuk stick, penganan yang di produksi oleh sebuah perusahaan makanan ringan di Korea Selatan, Lotte confectionery sejak tahun 1983 dan mempunyai 10 rasa yang berbeda ini begitu laris pada bulan november. Pepero day adalah kebudayaan modern di Korea Selatan yang dimulai pada tahun 1994 di Busan, waktu itu para pelajar Girls Middle School saling bertukar hadiah yang isinya adalah Pepero dengan harapan agar mereka dapat tumbuh tinggi dan langsing seperti bentuk Pepero dan sejak saat itu budaya saling memberi Pepero itu semakin meluas di seluruh Korea Selatan, Pepero day dirayakan pada tanggal 11 November (11-11) karena tiap bungkus Pepero terdiri dari 4 batang yang tiap batang disimbolkan sebagai angka satu. Tanggal 11 November merupakan hari istimewa bagi muda-mudi Korea Selatan karena mereka merayakan hari Pepero. mereka saling bertukar Pepero maupun hadiah romantis lainya, budaya Pepero day ini sampai sekarang semakin populer mengalahkan kepopuleran Valentine’s day di Negri Gingseng.

Bagi saya orang Indonesia, harapan yang muncul adalah munculnya bentuk kearifan lokal yang begitu baru. Yang sanggup menggantikan kebudayaan “asing” seperti Valentine Day. Sehingga penyikapannya tidak dengan jalan kekerasan yang kerap kali saya dengar. Membubarkan secara paksa peringatan Valentine’s day. Atau di lain sisi, menelan mentah-mentah kebudayaan “asing” yang sering kali tidak cocok dengan kondisi geografis serta sosial ekonomi bangsa Indonesia. Jika di Korea terbukti Pepero sanggup menggantikan Valentine’s day, mengapa tidak kita ciptakan suatu bentuk kearifan lokal yang sama sekali baru?

Suatu Waktu di Hari Minggu

Suatu Waktu di Hari Minggu


(Rapat Bersama KBRI Korea Selatan)
Siang itu memang tidak sedingin dua hari sebelumnya ketika suhu udara berada di angka 1°C, saat-saat pergantian musim di Korea Selatan suhu udara memang tidak menentu terlebih pada peralihan musim gugur ke musim dingin seperti sekarang ini. Musim gugur yang jatuh pada bulan September sampai bulan November dengan kisaran suhu 10°C sampai dengam 25°C tiba-tiba bisa turun drastis menjadi suhu minus bahkan pada puncak musim dingin pada bulan Desember sampai bulan Februari suhu udara bisa mencapai minus 10°C. Pepohonan mulai berubah warna menjadi merah dan kering, orang-orang mulai memakai pakain tebal dan menyiapkan pemanas ruangan. Di dalam rumah meski musim dingin tetap akan terasa hangat karena rumah orang korea dilengkapi dengan ondol yaitu sistem pemanas khas Korea yang dipasang di bawah lantai bersama dengan lantai kayu.

Tiap libur hari minggu saya mencoba menyempatkan diri datang ke pusat pelayanan orang asing DFC ( Daegu Foreigner Centre ), sekitar satu jam perjalanan dari kota Busan dengan naik kereta. DFC merupakan instansi pelayanan jasa konsultasi bagi pekerja asing yang ada di kota Daegu dan sekitarnya, melayani pengobatan gratis, telpon interlokal dan internet gratis, kursus bahasa korea dan komputer juga secara gratis. Di DFC saya banyak berkenalan dengan para pekerja dari berbagai negara seperti China, Vietnam, Philipina, Srilangka,
Pakistan dan para pekerja lain dari kawasan Asia, terkadang sayapun bertemu dengan rekan pekerja dari daerah asal yang sama Solo Jawa tengah. Atas undangan staf DFC saya memang harus datang agak awal karena akan ada rapat bersama KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) juga HRD (Human Resources Development) Korea Selatan yang akan membahas tentang kerjasama pemerintah Indonesia dan Korea Selatan dalam meminimalisasi jumlah tenaga kerja ilegal di Korea Selatan.

Acara dimulai oleh Mr Choi seng chan dari divisi pekerja asing Korea Selatan yang menyampaikan himbauan dari Pemerintah Korea Selatan kepada tenaga kerja Indonesia yang sudah habis masa ijin tinggalnya agar segera meninggalkan negara Korea dengan suka rela. Saat ini ada sekitar 1 juta 400 ribu tenaga kerja asing yang bekerja di Korea Selatan sedangkan jumlah tenaga kerja Indonesia sebanyak 38.000 orang, 5.147 orang dari tenaga kerja Indonesia tersebut adalah pekerja ilegal. Jumlah pekerja ilegal Indonesia berada diurutan ke-5 setelah Vietnam kemudian Thailand , China dan Philipina.
Mr joyong dung dari divisi urusan perijinan juga menghimbau kepada para tenaga kerja Indonesia untuk melakukan perencanaan keuangan dengan baik sehingga dapat memanfaatkan hasil yang telah di dapat di Korea untuk dikembangkan di negaranya sendiri. Dewasa ini kerjasama Korea Selatan Indonesia begitu intens dan luas terlebih dalam bidang perdangangan dan industri. Korea Selatan tercatat sebagai Investor terbesar kedua di Indonesia setelah Jepang, sebanyak 1.300 perusahaan investasi Korea yang beroperasi dengan 35.000 Orang korea. Dengan demikian para Tenaga kerja Indonesia yang telah pulang ke tanah air juga dapat bekerja di perusahaan Korea yang berada di Indonesia tersebut.
Sedangkan Dari konsuler KBRI Korea Selatan Ibu Dwi rachmawati menyampaikan perlunya pengendalian diri bagi WNI (Warga Negara Indonesia) dan Juga perlunya menjaga nama Negara sehingga kedepan akan mempermudah peningkatan kerjasama diberbagai bidang, karena tenaga kerja Indonesia yang berada di Korea Selatan sudah terkenal akan daya tangkapnya dalam penguasan pekerjaan dengan cepat.

Acara tersebut berakhir pada pukul 4 sore waktu setempat dan ternyata perut sayapun sudah mulai keroncongan. Hari itu saya memutuskan akan mencoba makanan Indonesia di Negri Gingseng. Setelah naik bus kota selama 15 menit akhirnya saya sampai di pusat kota Daegu dan langsung menuju ke Asia mart, salah satu dari dua warung Indonesia yang ada di kota Daegu. Pada hari minggu dan hari libur warung-warung Indonesia memang sangat ramai oleh warga negara Indonesia yang ingin makan masakan Indonesia, belanja ataupun sekedar berkumpul. Sudah ada seorang teman yang menunggu saya disana, ia berasal dari Mojosongo Solo, Jawa tengah, Ia bekerja di pabrik peleburan baja dan baru dua bulan di Korea itulah sebabnya ia datang untuk makan di Asia mart karena masih belum terbiasa dengan makanan Korea yang serba asam. Ia memesan sambel goreng ati, sayapun juga ingin mencoba sambel goreng ati ala Korea, setelah beberapa saat sang pemilik warung asal Semarang, Jawa tengah yang bersuamikan orang korea itu menghidangkan pesanan kami. Ternyata rasa sambel goreng ati yang kami nikmati sama persis dengan rasa sambel goreng ati yang ada di Indonesia ataupun sambel goreng ati yang dulu sering saya nikmati di jalan Surya belakang kampus UNS (Universitas Sebelas Maret Surakarta) semasa kuliah dulu. Dengan harga 9.000 won (sekitar 65. 000 rupiah) per porsi ditambah es kelapa sudah dapat mengobati kerinduan kami akan masakan Indonesia yang kaya akan cita rasa. Setelah menghabiskan makanan dan haripun semakin malam kami memutuskan untuk kembali ke tempat kerja kami masing-masing. dan hari Minggu saya pada waktu itu pun berakhir sampai disitu.

“Wajah” Bahasa Indonesia Di Negri Kimchi

“Wajah” Bahasa Indonesia Di Negri Kimchi


Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sudah sepatutnya kita apresiasi sebagaimana mestinya, bahasa yang diakui secara resmi sebagai bahasa persatuan pada 28 oktober 1928 dan disahkan secara konstitusi oleh undang undang tanggal 18 agustus 1945 ini, dalam perjalannya telah banyak mengalami perubahan akibat pemakainya untuk itulah telah diterbitkan sebuah rujukan penggunaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) pada 16 Agustus 1972. Namun demikian bahasa ini tetap berkembang, sebab bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup sehingga akan terus menghasilkan kata-kata baru baik melalui penyerapan maupun penciptaan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Hal tersebut tentunya tidak bisa dipungkiri karena keragaman bahasa ibu di Indonesia dengan dialek kedaerahan yang khas turut mewarnai perkembangan bahasa Indonesia sampai sekarang. Di satu sisi penggunaan bahasa Indonesia yang baku memang akan terkesan sangat kaku namun disisi lain bahasa Indonesia yang dilafalkan secara asal-asalan tentunya akan merusak kaidah penyempurnaan bahasa yang telah ada.

Dasawarsa terakhir ini telah bermunculan ragam gaya bahasa baru akibat pengaruh semakin banyaknya bahasa asing yang dikenal masyarakat Indonesia ataupun gaya bahasa yang dipakai oleh orang-orang Indonesia yang telah lama tinggal di luar negri dan kemudian menjadi tren dikalangan para anak muda. Tapi bagaimana jika bahasa Indonesia dipakai oleh warga Negara asing di negaranya sendiri seperti di Korea Selatan misalnya.

Bagi kalangan tertentu bahasa Indonesia sangat digemari di Korea Selatan. Suatu ketika dalam sebuah perjalanan di kota Seoul, Saya berkenalan dengan seorang warga Korea Selatan yang cukup lumayan bisa berbahasa Indonesia. Di dalam jihacol (kereta bawah tanah), Saya duduk bersebalahan dengan seorang pemuda yang sedang asik membaca sebuah buku dan ternyata yang ia baca adalah buku bahasa indonesia, sayapun mencoba melayangkan pertanyaan-pertanyaan kepadanya.

“sedang membaca buku bahasa indonesia ya?”
“iya.”
jawabnya.
“sudah berapa lama belajar bahasa Indonesia?”
baru 7 bulan.”
Obrolan kami terus berlanjut sampai di stasiun terakhir dimana saya harus turun.

Begitupun di tempat saya bekerja di kota Daegu sekitar 4 jam perjalanan dari Seoul, tepatnya di kota Dasan. Hampir semua pekerja Indonesia di Dasan pastilah mengenal Mr Sun, seorang sopir taksi yang bisa berbahasa Indonesia, pria paruhbaya berkacamata ini banyak belajar bahasa Indonesia dari rekan-rekan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang tinggal di Dasan.

Tidak hanya itu saja, di dalam taksinya juga terdapat kaset-kaset dari band Indonesia seperti Peterpan, Ungu, Iwan fals yang selalu ia dengarkan disela-sela pekerjaanya sebagai sopir taksi itu.

“musik Indonesia sangat bagus, suatu saat saya ingin pergi ke Jakarta” katanya dengan logat Korea yang masih khas.

Di Dasan pula terdapat sebuah komunitas orang-orang Korea yang bisa berbahasa Indonesia. Salah satunya adalah Doni, hampir setiap minggu Doni selalu datang bermain ke kisuksa (asrama) dimana saya tinggal, pemuda 24 tahun yang bekerja sebagai tukang cuci mobil ini terkadang membawa teman-temannya yang juga bisa berbahasa Indonesia. Pada mulanya saya sempat cangggung ngobrol dengan memakai bahasa Indonesia dengan Doni takutnya dia tidak paham dengan apa yang saya bicarakan tetapi perkiraan Saya salah, ternyata Doni sangat mahir berbahasa Indonesia ia telah belajar bahasa Indonesia selama 7 tahun, ia juga pernah datang ke Indonesia di kota Solo, Jawa tengah. Namanyapun ia ganti menjadi nama Indonesia Doni untuk lebih membiasakan panggilan dalam bahasa Indonesia. Teman-teman Doni yang lain juga mengganti namanya menjadi nama Indonesia seperti Hendra, lisa, Sendy, Adit dan lain-lain.

Di kota lain di Busan tiap tahun diadakan pertemuan akbar orang-orang Korea dari seluruh kota di Korea Selatan yang bisa berbahasa Indonesia. Mereka saling bertukar pengalaman dan pikiran tentang bahasa Indonesia yang sedang mereka pelajari.

Melihat potensi perkembangan bahasa Indonesia di Korea Selatan, beberapa waktu lalu pihak KBRI menyelenggarakan lomba pidato bahasa Indonesia bagi orang-orang korea di Seoul, lomba yang diagendakan tiap tahun ini meski baru diikuti oleh 30 warga Korea Selatan dari kota Seoul saja namun antusiasme para peserta sangat tinggi. Acara yang berlangsung dari pukul 10 pagi hingga 3 sore waktu setempat ini dimenangkan oleh Lee eun kyung, Kim don hwang dari Hankuk University Of foreign Studies dan Park Su jin dari Seokjeong Girls High School. Para penonton dan juri dibuat terkesan oleh penampilan para pemenang karena tidak hanya tutur bahasa Indonesia mereka yang sangat lancar tetapi juga pemakaian bahasa baku yang mereka gunakan, terlebih saat Park su jin gadis cantik asal Seokjeong Girl High School ini berpantun di akhir pidatonya. Ia juga mengatakan pentingnya melestarikan batik sebagai aset bangsa Indonesia jangan sampai direbut oleh bangsa lain.

“batik sebagai salah satu budaya Indonesia yang punya nilai estetika sangat tinggi haruslah dijaga dan dilestarikan” katanya dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih.

Apa yang dikatakan Park su jin memang benar adanya dan tidak hanya budaya Indonesia saja yang perlu dilestarikan tetapi bahasa Indonesiapun juga harus dijaga.

Dengan semakin bertambahnya peminat bahasa Indonesia di Korea Selatan sudah seharusnya menjadi cambukan untuk lebih menghargai lagi bahasa nasional kita ini paling tidak dengan bahasa Indonesia bisa menjadi media untuk memperkenalkan Indonesia beserta kebudayanya terhadap warga negara Korea Selatan. Di balik invasi budaya korea ke Indonesia dg industri hiburanya yg menjadi trenseter di Indonesia ternyata bahasa Indonesia masih punya “nyawa” di Negri Gingseng ini.

Selayang Pandang Tentang Negri Sebrang, Korea Selatan.

Selayang Pandang Tentang Negri Sebrang, Korea Selatan.

Korea Selatan, siapa yang tidak tahu Negri Gingseng berpenduduk 50 juta jiwa ini. Negri yang terletak di wilayah Asia Timur ini, kini begitu populer, tidak hanya saja industri manufakturnya tetapi juga industri hiburannya yang semakin terkenal dibelahan dunia. Negri yang merdeka 15 agustus 1945 hanya selang dua hari dengan kemerdekaan Negara kita Indonesia dan berperingkat ekonomi nomor 11 di dunia ini memang telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup dramatis dengan gerakan saemaeul (industrialisasi) nya, dari salah satu Negara termiskin dengan pendapatan perkapita 100 US dolar pada tahun 1960 melejit menjadi 20.000 US dolar per tahun pada tahun 2007. Meningkatnya ekonomi dan industri di Korea tentunya dibarengi dengan semakin bertambahnya jumlah permintaan tenaga kerja ke Negri itu, melalui program G to G (government to government) adalah perjanjian kerja sama penempatan tenaga kerja asing di Korea Selatan yang melibatkan 11 negara di wilayah Asia termasuk Indonesia, saya mencoba peruntungan untuk bertandang ke negri yang kami para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) menyebutnya dengan “Negri impian dan harapan” itu.

Saya datang di Korea bertepatan dengan musim dingin bulan Desember silam, saat keluar dari pintu bandara Incheon International Airport Seoul, Sayapun dikejutkan dengan turunnya salju tipis dan dinginya suhu minus 5 derajat celcius, suhu itu bisa lebih turun lagi saat puncak musim dingin hingga mencapai minus 10 derajat celcius, suatu hal yang belum pernah saya rasakan di Indonesia sebelumnya, meski kampung halaman Saya terletak di kaki Gunung Lawu Tawangmangu Karanganyar, Jawa Tengah dengan suhu yang cukup dingin untuk takaran orang-orang di Indonesia tetapi ternyata masih belum seberapa dibandingkan dengan suhu saat musim dingin di Korea Selatan, sensasi yang luar biasa memang tapi harus dibalas dengan mengigilnya badan saya hingga beberapa hari.

Selama dalam perjalanan dari bandara ke tempat karantina, Saya mencoba mengamati daerah yang dilewati, secara geografis keadaan alam di Korea Selatan sebenarnya adalah bukit-bukit nan tandus dan kering berbeda dengan di Negara kita yang kaya akan sumber daya alaminya, Korea selatan tidak punya hutan dan laut sebesar di Indonesia, Korea Kelatan tidak punya sumber daya mineral dan energi sebanyak di Indonesia dan Korea Selatan tidak punya lahan perkebunan dan pertaniaan seluas seperti di Indonesia tapi memang Negara ini punya sumber daya manusia yang mampu memanfaakan secara optimal apa yang telah ada ditambah dengan karakter orang Korea yang tertib, disiplin dan pekerja keras. Orang-orang mengantri dengan tertib di tempat-tempat pelayanan umum, saat membeli tiket ataupun saat naik jihacol (kereta bawah tanah). Jihacol menjadi alat transportasi favorit bagi orang-orang Korea dan juga bagi Saya karena jarak tempuhnya yang lebih cepat dibanding dengan naik bus umum, stasiun jihacol dibangun dibawah tanah yang tentunya bebas dari kemacetan bahkan di Seoul stasiun jihacol dibangun hingga tingkat tujuh di bawah tanah, Saya belum bisa membayangkan jika hal ini diterapkan di Negri kita. Memang butuh adaptasi untuk mengikuti pola hidup orang Korea begitu halnya mengenai makanan, awal-awal tinggal di Korea saya tidak doyan makanan Korea bahkan saya butuh waktu 8 bulan untuk bisa menikmati kimchi (asinan khas Korea yang dibuat dari fermentasi sawi putih ) kitapun para TKI juga harus lebih jeli memilih masakan Korea yang kebanyakan terbuat dari daging babi dan disajikan bersama soju (minuman beralkohol) yang menjadi minuman wajib disetiap restoran di Korea, semacam es tehnya kalau di Negara kita. Untunglah tidak terlalu sulit untuk menemukan warung-warung Indonesia di Korea, hampir setiap kota di Korea terdapat warung Indonesia yang tentunya menjual produk-produk dari Indonesia baik masakan olahan seperti sate, opor, nasi goreng, gulai dan lainnya, makanan kemasan seperti krupuk udang, aneka keripik, bumbu-bumbu juga obat-obatan dan lainnya.

Tinggal di Negri orang pada awalnya memang banyak kendala yang dihadapi tetapi seiring bergantinya waktu saya mulai menikmati kehidupan Saya di negri “impian dan harapan” Korea Selatan, dan semoga suatu saat Negara kita Indonesia juga mampu menjadi Negara maju seperti Korea bahkan melebihinya. (bersambung)