KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

Hamid Tersisir Gaza

Hamid Tersisir Gaza




Henyak satu, seribu terlempar di sela-sela ketiak sayap malaikat pemenggal yang menghimpit
Lontar seribu, tak tehingga aroma ufuk tertebar mendendang penjaga pintu langit
Pemakan pemakan bangkai, menghambur cecer nyawa yang tak bisa berkelit
Besi besi mortil, desing desing merentet, deru di awan ditiap tarikan nafas terus melilit

Meledak, berkobar, membara, serpih bunga panas menyala di tiap batas pandang
Hunian wajar nan ringan di tanah sendiri tinggalah usang
Hanya nganga poranda yang meladang

Neraka? atau titian surga? entahlah!
Bingar kemenangan? atau muram kekalahan? entahlah!

“syahid, sahid..! syuhada, syuhada..!
Pekik pekik samar itu berbaur dengan ketakutan tangis tak berdaya
Tangis dan ketakutan yang sekedar hampa.

Riuh gaduh tak hanya mengoyak lembah pasir Al Quds* dan tubuh yang berpijak diatasnya
Salib patah, Sinagog rebah, surban terbercak darah
Betlehem, Nazareth, hebron.



Di sisir Gaza itu lelaki bersampir senapan dilengan, terseok menyeret langkah langkah kecilnya. Terengah dan berkali kali rubuh, darah segar tertuang dari dadanya yang tertembus peluru. Hamid bin Asyar seorang muslim Betlehem, sebuah kota suci 10 km selatan Yerusalem, tanah kelahiran dan kebangkitan Yesus Kristus.
Sejak kecil Hamid telah memanggul senapan demi kebenaran ( kepentingan ) yang diyakininya, ia harus berperang meski harus melihat nyawa meregang dan darah yang bercecer. Keluarga, sahabat, teman bahkan orang orang yang tak dikenalnya, baginya gugur dalam perang adalah Syahid. Masih terngiang dibenaknya dalam pertempuran itu saat peluru senapan digenggamannya harus menembus kepala Yosef Shimon seorang yudaisme, sahabat sepermainan semasa kecil yang juga karena mempertahankan kebenaran ( kepentingan ) ala sahabatnya itu yang kemudian harus menjelma menjadi lawan. Pedih, menjerit…!

Di sisir Gaza itu, Hamid hanya berharap fatamorgana karena baginya itulah keindahan yang nyata, dibanding kehidupan sebenarnya saat istri dan kedua anak laki lakinya harus terenggut nyawanya dalam perjalanan pengungsian ke tanah leluhur** kaum muslimin, yahudi, kristiani itu. Tidak hanya jasad istri dan anak anaknya, tubuh wanita dan anak anak lain juga tak berdenyut tergletak entah demi ‘kepentingan’ atau tidak demi ‘kepentingan’.
“inikah tanah suciku? inikah tanah sucinya? inikah tanah suci mereka?”

Di sisir Gaza itu, ia benar benar lumpuh, mengigil, badanya sudah tidak bisa digerakkan lagi, matanya mulai memejam tetapi kemudian ia terpana ketika melihat istri dan kedua anaknya berada di depanya, bermain, berlarian di hamparan taman hijau yang begitu tentram dan tenang, bercanda, bersendau gurau, tertawa. Senyum Hamid yang ikut mengiringi berangsur memudar ketika apa yang dilihatnya tergantikan dua sosok yang berdiri dihadapanya.
“apakah malaikat kematian sudah akan menjemputku?” sangkaan sangkaan mulai menghimpit.
“tetapi kenapa ada dua malaikat siapa yang satunya?”? Hamid menerka nerka namun kemudian seolah ia memperoleh jawaban dari hatinya.
“ah tidak mungkin dia Jibril, aku bukan Nabi atau Rasul.” Terkaan itu semakin kuat hingga bibir Hamid mulai berucap.

“hai jibril katakan kepada Tuhan, lelah aq untuk berperang”
“kenapa Hamid?”


“aku tidak membayangkan perang salib, aku tidak membayangkan perang umat, cukuplah bayangan perang di tanahku ini dan biarlah aku bayangkan kedamaian.”

“bukankah kedamaiaan yang kau bayangkan harus dengan jalan berperang?”


“tetapi ini bukan untuk aku ataupun jiwaku tapi untuk dia, untuk mereka, anakku, anaknya, kabilahku, kabilahnya, jiwanya, jiwa mereka, ….”

“kenapa tidak kau katakan sendiri dalam doamu”

“aku….”


Di sisir Gaza itu, ‘dor’. Laras panjang meletus.
“Allahuakbar!” Hamid tak berdetak.
Mortil, peluru, gemuruh memburu…….






*Al Quds/Yerusalem = Damai untuk semua
**Kota leluhur/ Hebron









Dasan, Korea Selatan. 18 April 2010. Dini hari 01:01.

0 komentar:

Posting Komentar