KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

"Jangan Menangis!"

"Jangan Menangis!"

Gurat itu selalu hinggap disadarnya hingga desir ini, seserak serpih yang akan tetap menggores ketika langit tak lagi biru atau bahkan ketika telah mengadu di swarloka. Kalimat salvo yang justru akan membuatnya menitikan asinnya garam dari pelupuk mata saat ia mencoba untuk memenuhi wasiat diujung waktu perjumpaan dengan Ayahnya.

Sore yang tak begitu mendung hanya secoret jingga tertumpah merubah bias warna putih rumah pasien dr Moewardi Solo yang belakangan ini akrab denganku. Sudah Dua minggu tubuh lelaki 59 taun itu dibangsal pembaringan, stroke yang mengerogoti terus memaksanya untuk beradu dengan takdir, kali ini ia begitu lunglai. Berbeda dengan 9 tahun yang telah usai ketika penyakit itu baru saja mencercak. Dengan tertatih ia tetap menyisir, memacu dan mencoba bertahan memanggul gada dipundaknya karena ia masih harus menjadi seorang senopati bergelut berperang demi tegaknya trah keluarga. Meski sebelah badanya lumpuh, sebagian sarafnya tak berfungsi dan ucapnya tak lagi sempurna tetapi ia bisa henyak dari semuanya dan bisa kembali merasakan getirnya daun jamu yang ia tenggak tiap hari. Semenjak saat itu pula hatinya pun ikut meluber menggantikan kemarahan-kemarahan yang sering dimuntahkanya kepadaku dulu menjadi sesosok penuh aura kelembutan dan berselubung kasih.

“kamu ini bisanya merepotkan orang saja!”, “tidak boleh!”, “jangan seperti itu!”, “ mau membantah orang tua!”. Sergapan seperti itu yang dulu sering mencambukku tiap hari, mengendap, mengkristal, menyublim egoku. “bapak macam apa itu? bisanya Cuma marah-marah tidak mengerti keinginan anak, mengebiriku layaknya seorang ‘kasim’. ingin aku keluar dan lari darinya!”. Kata kata seperti itulah yang terkadang sering membuatku tidak tahan.

“waktu mengambil nasi dan belum sempat memakannya, bapak mengeluh kepalanya sakit. Aku memintanya duduk karena tubuhnya tidak kuat maka aku suruh wardhani ( keponakanku yang baru berusia 6 tahun ) menyangga kepalanya sedangkan aku memanggil tetangga karena ibu tidak ada dirumah” tutur kakak iparku, kucur melantur berbaur dengan aroma kimia di balik bilik rawat.

Selepas dari ruang IGD ( Instalasi Gawat Darurat ) empat hari yang lalu, keadaan ayahku mulai membaik, matanya sudah terbuka setelah beberapa hari mengalami koma. Kami sepakat untuk membawa Ayah pulang dan merawatnya di rumah kendati ia masih harus merebah dan disuap.

Di petak halaman depan rumah sakit, aku melihat tubuh tak berdayanya, pipa kecil terhubung kedalam organ dalam, plester-plester warna buram menempel ditangan menutupi bekas suntikan infuse. Sementara Kakak laki-laki juga Ibu berdiri tak berjarak sambil sesekali mengusap keringat Ayah dan bersiap mengangkat tubuhnya ke mobil biru Espass lawas kebanggan Ayah. Pandanganku merayapi sekujur tubuhnya, tubuh seorang yang pernah aku benci karena pikiran-pikiran dan kekolotannya, aku mencibir tapi tak tahu siapa yang aku cibir, aku mengeluh tetapi tak tahu bagaimana aku mengeluh, aku meratap tapi tak tahu apa yang aku ratapi, wajahku merengek. Aku memang tidak bisa menemaninya pulang ke rumah karena situasiku saat itu. Penyusunan Tugas Akhir kuliah yang mengharuskan untuk bergegas, Ayah ingin sekali melihatku diwisuda juga persiapan pentas teater atas undangan Sanggar 28 Terkam ISTA yogyakarta yang tinggal beberapa hari lagi.

Binar mata Ayah mencari-cari, aku ditatapnya, wajah meredup, kisut. ”jangan menangis!”. Suara serak sayu keluar dari bibir birunya. Aku tersendat, hanya itu yang diucapkanya saat itu setelah berhari-hari aku tak mencicipi suaranya. Lisan itu mencabik begitu dekat dengan saraf, mengais-ngais meninggalkan memar dan nanar di nadiku. Dengan jerih payah Ayah mengucapnya memanfaatkan sisa tenaga yang masih tereguk.
Pintu lerek berderek, pandanganku masih beradu denganya tersekat kaca muram hingga Si biru pelan menggulirkan rodanya meninggalkan hawa legam yang mengisaratkan seakan menandakan perjumpaan pamungkas yang sukar untuk ku tepis, aku berharap de javu seperti 9 tahun yang telah sudah ketika semuanya kembali terjaga dan berlalu.

Aku sisipkan ke dalam tas cangklong beberapa helai lembar kertas kuarto BAB III diantara pakaian ganti latihan teater, kaos oblong, celana ajinco, naskah teater ‘Anak Polah Bapak Kepradah, Bapak Polah Anak Kepradah’, ku jinjing. Tak terlewat kuraih benda kotak padat bersuara dari meja dan kutaruh disak depan. Beberapa langkah terhitung, benda bergetar layar berkedip, panggilan masuk, on.
hallo!” bukaku.
“kamu disuruh pulang, Ayahmu sakit lagi!” suara itu begitu menyedakku, meski kalimat itu berbunyi demikian tapi aku sudah dapat menduga apa peristiwa karena bau anyir malaikat Izrail begitu menyengat, terkaan-terkaan menghitam menyayat urat perasaanku. Kulajukan sepeda motor dengan mengambang, sengaja tak kencang karena dugaan yang sebenarnya tak kuharapkan telah berkecamuk. Pertigaan jalan telah kulewati, mulai kucari cari orang berpakaian murung, satu orang kudapati. Senyum sayatku menghela mulai menemukan setitik jawaban. Jarak mulai sedetak, dua, tiga, banyak orang berpakaian murung di jalan dan halaman depan rumahku, tahlil dan yasin melantang, mata orang-orang tertuang tak ku abai, di jalan itu motor kuhempas, aku tahu siapa yang aku tuju.

Sebuah kamar, kulihat isak sedu ibu merayap dilangit-langit ditemani Bu lek yang mencoba menenangkannya. Kakak menghampiri, ”Bapak sudah tidak bisa lagi melihatmu diwisuda.” Bisiknya sembari memeluk erat lalu menggiringku ke ruang keluarga, aku melihat tubuh kaku tak bergolek yang sangat kukenal, ditunggui kerabat dekat kami yang beraut sendu, kedua keponakan perempuanku diam duduk di samping tubuh tak bergolek itu, mimik memekik tidak sesumringah biasanya saat bercanda denganku atau bercanda dengan kakeknya seolah mereka sudah mengerti arti kehilangan.

Aku mendekat, kupandang kujur tubuhnya, kucium keningnya, Ayah memang benar sudah tidak menghembuskan nafas, kata hatiku memberitahu itu meski aku tidak ingin percaya dengannya, semuanya menghitam hanya mataku memerah menahan perihnya air asin yang berkaca mengurai bulir-bulir perasaanku.

Orang yang kukira mengekang tapi dia lah orang yang sangat penyayang, orang yang kukira menghalangi tapi dialah orang yang begitu mengasihi, orang yang kukira tak punya rasa tapi justru dialah orang yang paling tidak ingin aku tidak bahagia. Dialah orang yang menangis ketika aku menangis.

Tak bisa kupenuhi permintaan terakhirmu Ayah karena aku Lebih memilih latihan teater ketimbang menungguimu terbaring lunglai di Rumah Putih ataupun ikut menemanimu pulang ke rumah untuk terakhir kalinya.

Kala menggulir, haru lekang melenggang, Tugas Akhir kuliah telah purna, berkas wisudapun sudah genap. Auditorium wisuda, orang orang bertoga dalam kesukaan, berfoto mesra dengan keluarga, bersalaman, berpelukan, bunga mawar bertebaran ditangan. Aku hanya mendelikan mata tak menatap mereka. Keponakan kecilku menghampiri, mengulurkan jemari mungilnya, “bunga mawar ini buatmu Om karena kakek sudah tidak ada lagi.” rautnya mencoba menguatkanku.

Ayah, menyuruhku tidak menangis sama halnya menyuruh ku untuk tidak tertawa saat kau relakan punggungmu waktu menggendongku, saat semangatmu untuk mengajariku berlatih tari bambangan, saat pupuh dhandang gula kau tembangkan untuk melelapkanku, saat….!

Ayah, Ayah, Ayah maaf biarkan aku menangis..!



Korea Selatan, Februari 2010.

- Teruntuk Sandiman Wignya Pranata, Februari 2007.
- Tag ;Teater SOPO FISIP UNS, Sanggar 28 Terkam ISTA Yogyakarta, Anggun Rahmananti & Fadia Eka Wardhani (keponakanku), Setyo Andi saputro dengan tulisanya "waktu bukanlah batu"

0 komentar:

Posting Komentar