KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

Hari Ini Masih Fajar, Belum Senja.

Hari Ini Masih Fajar, Belum Senja.

Inilah janjiku kepada fajar yang mulai tersenyum dengan wajah tanpa cela di ufuk timur itu. Tiap kala insan ingin segera menyudahi fajar untuk bertemu senja lalu meliar, aku hanya ingin berpaku pada gulma berikatkan rumput, menginduk semang layaknya benalu. Tak diinginkan tetapi tetap merelief dengan ujung-ujung serat semu di garis kayu.

Berkutat merimbun di gubug kerdil. Bapak, Ibu, Kakak perempuan, Kakak laki-laki dan Aku.
Bapak tak beranjak, menjejak sekedarnya. Ibu hilangkan gerutu, gegas dari berpangku, Kakak perempuan terlanjur sowan diatap barunya dengan Sang suami sedangkan Kakak laki-laki hanya berkaki sedikit memaki disekat gubug kerdil kami.
Burung gereja mengepak melintas ketika hari baru saja akan aku bahas. Sembari mengusap mataku yang masih berjelaga di halaman sempit, ku bidik lirik kepakan bebasnya di atap. Membahana wariskan asa, seklebat wasiatkan hasrat. Asa dan hasrat untuk mengembala sendi-sendi materi yang telah mencekoki naluri di tengah-tengah keluargaku.

“mbok, aku ingin pergi ke kota?” ungkapku kepada Ibu sambil menahan getar bibir yang ku hilir sejak dua hari lalu selepas perbincangan dengan Tono, teman sekaligus tetangga yang menjalariku dengan akar rambatnya, bahwa di kota terdapat padang surga dan kebun bahagia.
“ayo ikut saja ke kota, kita bisa dapat banyak uang disana!” ajaknya.
“kita kerja apa disana ton?” tanyaku menghimpit.
Aku tidak ingin terkungkum dalam sebuah pagar peristiwa ketika banyak orang layu karena menganggap kota adalah tempat rindang tetapi ia justru lapuk dan kering di tempat rindang itu. Sudah banyak cerita pula bahwa kota hanya menusukkan kekejaman bagi penyambangnya.
“sudah tenang aja, aku punya banyak kenalan disana, kita tinggal kerja.” ungkapnya.
Tono memang sudah sering menyambangi kota dan kerap kali pulang pastilah buah balas yang ia pangkas untuk dikupas bersama keluarga maupun menikmatinya sendiri.
“tapi ton?” imbuhku.
“tidak usah banyak mikir, kalau kamu mau ikut tiga hari lagi kita berangkat atau kamu tetap ingin seperti ini, nganggur jadi beban orang tua. Apa kamu tidak risih?”
Memang benar apa yang dikatakannya, aku hanyalah seorang pengangguran tanpa kerja. Meski usiaku sudah memasuki tahun ke 20 tetapi masih numpang di rumah sendiri. Bukanya aku tidak ingin mencari pekerjaan ataupun berdiam diri tetapi memang orang tua telah memasungku di gubug kami dan untuk sesekali membantu mereka merumput, menyiangi ataupun berkebun. Karena tinggal akulah anak satu satunya yang masih tinggal seatap, terlebih sejak Ayahku menderita stroke 2 tahun lalu, aku akan lebih sering menggantikan posisinya supaya dapur kami tetap berasap. Namun aku merasa kehidupan kami terlalu sederhana dan terlalu apa adanya, aku menginginkan keadaan yang lebih dari itu.
“kita tinggal dimana disana?” deraku mencoba untuk memastikan kepada Tono.
“kita tinggal di tempatnya lek marni.” Yah aku ingat, lek Marni janda ditinggal mati Sang suami yang masih satu RT dengan kami, Ia memang orang baik. Sewaktu masih kecil kami sering dibagi makanan dan diberi uang saku olehnya, tetapi konon setelah kepergianya ke kota Ia telah sukses di sana. Keinginanku pun semakin mengait kencang dengan ajakan Tono.

“mau apa kamu ke kota, apa yang kamu cari?” balas Ibuku.
“aku ingin bekerja, aku ingin mencari uang dan aku tidak ingin menjadi beban.” Keluhku.
“tidak usah!” tolaknya, “kami tidak merasa kamu sebagai beban, lagipula kamu harus lebih sering membantu kami, kamu tahu sendirikan kondisi Bapakmu yang sudah tidak bisa bekerja lagi” jelasnya meretas.
“justru karena itulah aku ingin…”
“sekali lagi tidak boleh” selanya menyabit pelit.
“meski keadaan kita seperti ini kami sudah merasa senang.“
“tapi aku menginginkan keadaan yang lebih baik.”
tambahku mencoba untuk meyakinkan Ibu.
“keadaan lebih baik bagaimana yang kamu maksud, apa kamu tidak cukup senang dirumah? aku tidak menuntutmu macam macam. Disinilah keadaan yang lebih baik yang kamu cari itu!” ucapnya mengerat memupuk emosiku yang ikut angkat memanjat.
“jadi benar benar tidak boleh, simbok tidak sayang kepadaku, simbok tidak mengharapkanku untuk keadaan yang lebih baik, besok aku akan berangkat!” luapku.
Kubanting pintu kayu sambil kutinggalkan Ibu disitu. Pintu menjerit derit.

Kukemasi beberapa helai baju ditas ransel warna pudar itu.
“jadi kamu benar-benar ingin berangkat?”
“ya… akan kubuktikan kalau aku mampu menjadikan semuanya lebih baik, aku bisa merubah keadaan kita.” yakinku mengikat erat.
“baik kalau kamu tidak mengerti juga. Kalau kamu tidak 'nggugu' apa yang Simbok katakan, berangkatlah dan bawakan kami sekarung emas sekembalinya dari sana.” sindir ibu mencibir.
“ aku bisa, akan kubawa itu semua demi kita!” serapahku menancap kuat, “akan aku buktikan!”
Aku beranjak, aku berjalan, aku memburu. Ku lewati pintu kayu sementara Ayah hanya duduk bisu dilincak bambu sembari memandang melepasku. Ayah memang tidak bisa berbuat banyak tetapi aku mengerti apa yang ada dihati. Matanya berkaca, merasa Ia lah biang segalanya karena sudah tak mampu lagi untuk bekerja maupun bersuara.

“gimana ni Ton, sudah hampir tiga minggu kita disini tetapi masih belum kerja juga?”
“sudah tenang aja, bentar lagi kita pasti dijemput.”
“tapi sampai kapan?”
Tanyaku meninggi.
Tiga minggu telah kuhabiskan waktu di kota, uang saku sudah tak sepeserpun dan selama itu pula telah banyak kusaksikan kejadian yang benar-benar telah kulihat sendiri. Mulai dari tidur di emper toko meski akhirnya kami menemukan alamat lek Marni, lebih beruntung dari mereka yang tidur dikolong jembatan tidak punya tempat tinggal dan kampung halaman, peristiwa penemuan mayat korban mutilasi dekat stasiun atupun kejadian yang kualami sendiri di halte sewaktu menunggu bus kota, dua orang menghampiri kami dan tanpa basa-basi menodongkan pisau dipinggangku. Aku masih lebih sayang nyawaku daripada uang yang ada di dompetku biarlah uangku berpindah tangan.
Meski kami sekarang sudah numpang di rumah lek Marni tetapi aku sudah sepat dengan semua itu, aku sudah tidak kuat bergulat, kecemasanku tentang bengisnya kota benar benar menjadi nyata.
Bayanganku mendaki ke gubug kerdil kami, menumpang di rumah sendiri masih lebih baik daripada menumpang di rumah tetangga. Yah… aku akan pulang meski akan berhadapan dengan rasa malu dan kemarahan Ibuku. Biarlah konsekuensi itu aku tanggung.
“Ton aku akan pulang.” Ungkapku, Tono tak bersua lagi hanya memandang kecut.

Kumasuki halaman sempit, di depan pintu kayu aku berhenti sejenak menyiapkan perasaan dan menyelipkan tatah di hatiku. Pintu kubuka lirih, ku lihat ibu menata ranting bakar didepan tungku.
“kamu sudah pulang?” ucapnya lembut.
Mulutku terjepit, leherku terlilit tak bisa aku berkata, ternyata ibu tidak marah, ku lihat sosok malaikat wanita di dalam gubukku. Aku menoleh sedepa, Ayah masih tetap duduk bisu dilincak bambu namun kali ini bukan mata berkaca yang kutangkap tetapi senyum sungging dari bibirnya.
“sudah makan sana saja dulu!” pinta ibuku yang sudah tak kuhirau karena terharu.
Tanpa banyak bicara kuambil cangkul dan sabit, aku bergegas ke belakang gubug dan segera kusiangi rumput-rumput di kebun belakang dengan disaksikan Sang fajar, kutatap Sang fajar dan kubalas senyumannya.

Inilah janjiku kepada fajar yang mulai tersenyum dengan wajah tanpa cela di ufuk timur itu. Tiap kala insan ingin segera menyudahi fajar untuk bertemu senja lalu meliar, aku hanya ingin berpaku pada gulma berikatkan rumput, menginduk semang layaknya benalu. Tak diinginkan tetapi tetap merelief dengan ujung-ujung serat semu di garis kayu.



Mengingat memori 2002
Dasan, Korea Selatan. 10 Januari 2010.

0 komentar:

Posting Komentar