KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

What is “nar” in a name ?

What is “nar” in a name ?

Ada berbagai alasan dan pertimbangan ketika orang tua memberikan nama bagi anaknya, selain sebagai identitas awal, nama juga akan dapat mempengaruhi kepribadian, kemampuan berinteraksi baik secara personal maupun sosial.
Sering sekali orang berujar “What is in a name?”, apa arti sebuah nama? Sebuah kalimat dalam fragmen Romeo Julliet karya William Shakespeare yang kemudian menjadi populer dan mengekor pada orang orang yang menjadikan pertahanan terhadap kontekstual sebuah nama.

Apakah lantas ketika orang mengucapakan kalimat itu, benar-benar ia tidak menganggap pentingnya sebuah nama. Coba kita imajinasikan ( baca riilkan ) apa yang terjadi di era kekinian ini tak kala kita mengkosongkan blangko-blangko, data ataupun formulir resmi yang membubuhkan identitas asli yang tentu paling urgent didalamnya adalah sebuah nama, tentunya eksistensi kita tidak dilegalisasi!
Atau orang mengucapkan itu hanya sekedar ber Shakespeare ria tanpa maksud yang jelas.

Saya rasa Shakespeare bukanlah orang kacangan yang dengan sembarangan menjatuhkan mutiaranya, adalah seorang filusuf ternama di eranya pada abad 16 an. “what is in a name?” tidaklah sesederhana itu. Terdapat dalam karya karya Shakespeare itu sendiri seperti Hamlet karya drama terbesar Shakespeare yang didalamnya mengisahkan tentang keturunan, pembalasan dendam yang tentu tak lepas dari nama nama, karya yang lain dimana ia memakai nama anaknya Hamnet dalam karya tersebut, itu berarti nama ternyata sangatlah penting bagi Shakespeare.
Jelaslah bahwa nama begitu penting dalam kalimat Shakespeare yang nampak sederhana itu, ibaratnya kita membuka alkitab tanpa tafsir yg kemudian menerjemahkanya secara lugas.

Apakah nama sebegitu pentingnya? Ya sangat penting bagi saya.
Sampai sejauh ini saya belum pernah mendengar seorang anak yang dilahirkan tanpa nama, kecuali memang anak yg dibuang ibunya karena sang ibu hanya butuh kenikmatan shahwat saja atau anak yang hilang ditemukan di jalanan itu persoalan lain lagi.

Ada ungkapan dalam bahasa arab yang artinya “Nama adalah doa” atau ungkapan Jawa ”asma mawi donga” ( nama mengandung doa ). Saya sepakat dengan ungkapan itu selama perbincanganya masih dalam relnya tetapi juga bukan berarti nama adalah Dewa atau Tuhan yg patut disembah.

Dalam suatu kesempatan saya terlibat pembicaraan dengan seorang Ustadz di dalam masjid, Pak Ustadz menyuruh mengganti nama saya karena nama saya terdapat unsur kata neraka dalam bahasa arab “nar” sedangkan nama saya adalah nama Jawa ( Winarno Hadi saputro ), kemudian masih dengan berbahasa Arab Pak Ustadz menjelaskan dalil-dalil tentang pentingnya pemilihan sebuah nama, untuk yang ini saya sangat sepakat karena pembahasanya dan sampel-sampel yang dipakai merujuk pada bahasa arab yang tentunya bisa sangat dipahami dari perspektif yang sama tetapi kalau men”tandem” kan nama jawa dengan bahasa Arab dan sebaliknya ataupun dengan bahasa lain lalu menariknya dengan garis lurus maka bisa saja terjadi distorsi pemaknaan.

Saya teringat daftar nama-nama “unik” tentang kenamaan mereka, Mei yang lahirnya pada bulan Juni, Awan ( siang ) Kurniansah yang lahir pada malam hari, juga teman saya orang Jawa bernama Supra yang namanya sama dengan tipe sepeda motor produksi Jepang atau yang lebih ekstrem lagi nama Tai lee seorang pengusaha besar di Malaysia serta masih banyak daftar nama lainya. Saya memang tidak mengaitkan unsur kata “nar” ( neraka ) dalam nama mereka tetapi secara substansi nama nama itu bisa menjadi salah satu jawaban buat Pak Ustadz bahwa pembahasan sebuah nama tidak bisa menggunakan pendekatan secara linguistik saja tetapi pendekatan non linguistik/situasional juga bisa dilibatkan sesuai dengan wilayah, makna bahasa secara kultural, kandungan filosofis maupun proses penamaan sehingga tidak memunculkan perbedaan interpretasi.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa pemikiran Pak Ustadz begitu dangkal, sama sekali tidak! Tetapi justru pemikiran sayalah yang dangkal karena tidak bisa memahami bagaimana seorang Ustadz berkata selayaknya nama adalah sebuah pakem dalam konteks satu bahasa saja atau mungkin saya belum bisa mengikuti pembicaraan sekelas beliau dengan frame-frame dan mindset keagamaan yang begitu kuat sedangkan saya hanyalah seseorang yang masih harus banyak belajar tentang ilmu Agama.
Tetapi yang jelas hingga saat ini saya belum berminat untuk mengganti nama asli pemberian orang tua saya.

0 komentar:

Posting Komentar