KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

Bangga Nasionalisme Dan Budaya Indonesia

Bangga Nasionalisme Dan Budaya Indonesia

Beberapa hari yang lalu saya melihat seorang teman sedang ber”onani” di sudut kamar blognya tempat biasa dia mengeluarkan cairan-cairan yang mengendap dalam tubuhnya “Nasionalisme Apa?”. Lintanglanang.blogspot.com. Itulah “mani” yang dia keluarkan saat itu lantaran maraknya slogan “ Ganyang Malaysia!!” yang belakangan ini memenuhi ruang publik, mulai dari kolom-kolom status di situs jejaring sosial macam facebook, blog-blog pribadi, berbagai ruang lain di dunia ‘maya’, hingga aksi "nyata” yang dilakukan beberapa kawan seniman dan jurnalis di Semarang “. Katanya ( saya bilang katanya biar tidak dikira saya mengklaim tulisannya dan nantinya akan ada yang mengganyang saya ).

Teman saya menyoroti dari perspektif kebudayaan yang menjadi salah satu obyek “peperangan” antara Indonesia dan Malaysia. Secara substansi, saya ikut membenarkan agar kita jangan grusa-grusu tersulut menjudge dan mau mengganyang bangsa lain ( Malaysia ) dengan dalih Nasionalisme tetapi silahkan mencoba dikaji lebih jauh lagi. Saya jadi teringat pertemuan dengan orang “nyentrik” di langsung jaya Solo-Tawangmangu Desember 9 bulan silam, kira-kira berusia 60 an tahun , berambut gondrong, kacamata hitam, rompi, kaos putih bercorak gulo kelopo ( bendera merah putih ) kecil di lengannya, sepatu pantofel.

“…darimana nak?” tanyanya hangat. “dari Jakarta pak habis pre eliminary training”. “emangnya mau kerja keluar negeri ya nak?”. “Ya pak, sekalian mencari pengalaman ”. ( Saya tidak menjawab karena mencari pekerjaan di Indonesia susah atau standar gaji di Indonesia yang masih rendah ). “apakah akan terus menjadi budaya kita ya nak, negara kita yang gemah ripah loh jinawi tetapi banyak rakyatnya 'dibiarkan' mencari pekerjaan di negara lain. ( lagi-lagi saya mendengar kalimat gemah ripah loh jinawi, saya tidak tahu apakah kalimat tersebut adalah benar-benar sebuah paradoks atau hanyalah anakronisme, penghalusan yang diwujudkan dalam simbol-simbol ). “Sebenarnya Negara kita lebih dulu merdeka dibanding Negara tetangga kita seperti Singapura, Brunai, Malaysia, Thailand, tetapi kenapa mereka lebih maju dibandingkan kita ya pak?!”. “yah… kita bangkitkan dulu rasa berkebangsaan dan cinta tanah air kita”. “Nasionalisme ya pak?!” selaku. Ia pun malah tertawa kecil “belum saatnya kita bicara nasionalisme nak! Kita belajar budaya, membudaya dan bangga berbudaya dulu, sebelum menempuh perjalanan jauh kita cukupi dulu kantung-kantung saku kita dengan bekal yang cukup, untuk menjadi maju dan menjadi bangsa yang besar kita hargai dulu jatidiri kita yang bersumber dari hati dan pikiran kita. Moderen boleh-boleh aja tetapi 'budaya' kita jangan sampai ditinggalkan. Lagipula modern atau tidaknya kita, akan tercipta oleh progres pemahaman di dalam otak kita bukan dari pakaian ataupun gaya hidup….” Obrolan kita terputus saat kondektur bus mencolek pria nyentrik “ palur pak?!” Ia pun bergegas dari tempat duduknya dan sebelum turun, senyum kecil diarahkanya pada saya.

Di dalam hati, saya masih memikirkan banyak hal yang diucapkan pria nyentik itu, salah satunya
adalah “budaya”. Mungkin budaya yang dimaksud adalah budaya sebagai hasil produk yang harus dihargai dan dijaga, maupun memperbaiki pola pikir dan mental yang menjadi kebiasaan yang telah terdegradasi, dimana keduanya adalah sebuah rangkaian yang relevan untuk dijadikan salah satu bekal fundamen menjadi negara yang besar. Pada peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia Agustus sebulan lalu, saya mencoba mengenakan baju batik di negara saya tinggal sekarang, tapi apa yang terjadi beberapa teman senegara saya justru men”cederai” batik yang saya kenakan, padahal teman-teman dari negara lain banyak yang menanyakan dan interest terhadap batik yang saya pakai.

Slamet Rahardjo dalam sebuah acara di televisi pernah mengatakan “sebelum go internasional silahkan go lokal dahulu!” kalau boleh menambahkan kalimat tersebut saya akan berkata “sebelum bicara nasionalis silahkan bicara budaya nasional dahulu, sebelum sok nasionalis silahkan belajar berhitung dahulu”.

Kembali ke peperangan antara Indonesia dan Malaysia, mungkin sebagian dari kita sudah tahu, sebenarnya Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia sudah dimulai pada tahun 1962 dimana pada saat itu Malaysia ingin menggabungkan pulau Kalimantan menjadi satu bagian dengan Malaysia, di lain pihak Philipina juga mengklaim sebagian pulau Kalimantan karena pernah menjadi daerah kekuasaan Sultan sulu, sebuah kesultanan muslim yang pernah berjaya di Philipina pada tahun 1457. Akhirnya indonesia dan Philipina sepakat membentuk sebuah federasi yang diorganisasi oleh PBB dan akan menyelenggarakan refrendum untuk menentukan masa depan kalimantan, namun Malaysia melihat hal ini sebagai skenario Indonesia untuk mendapatkan sepenuhnya pulau kalimantan, demonstrasi anti Indonesiapun terjadi, foto Presiden Soekarno dirobek-robek , lambang Garuda Pancasila diinjak-injak. Amarah Presiden Soekarnopun meledak dan akan melakukan gerakan balas dendam yang terkenal dengan “Ganyang Malaysia” yang dikemudian hari terjadilah konfrontasi dalam arti sebenarnya hingga tahun 1965, namun dikarenakan konflik di dalam negeri dengan berlangsungnya G30S/PKI konfrontasipun mulai mereda.

Pada masa pemerintahaan Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Tun Abdul Razak hubungan kedua negara berlangsung baik, tahun 1974 Pemerintah Malaysia meminta pengiriman TKI untuk mengimbangi jumlah suku bangsa puak (cina), perekonomian Malaysia mulai meroket. Malaysia yang sudah makmur melakukan indusrialisasi sektor pertanian yang mensyaratkan tenaga kerja ahli, TKI mulai dianggap beban ( jawa pos 01/7 ). TKI hanya dianggap jenayah ( biang keonaran ) dan kuli rendahan, banyak perlakuan-perlakuan diskriminatif yang dilakukan terhadap para TKI. Malaysiapun “melirik” pulau-pulau potensial di Negeri kita, Sipadan Ligitan , pulau Sebatik, Ambalat, pulau Jemur dan pulau-pulau lainnya. Terakhir kepongahan Malaysia adalah warganya yang melecehkan lagu Indonesia Raya dengan mengganti liriknya.

“Pencaplokan budaya” oleh Malaysia (lagi) , bisa menjadi tumbal refleksi dan interopeksi diri selama masih dalam bilik kebudayaan namun akan lain halnya jika telah menular ke ranah yang lebih komplek. Masalah territorial, pelecehan lagu Indonesia Raya, perlakuan arogan terhadap warga indonesia. Dalam hal ini jika benar adanya, negara tersebut perlu di”jewer” untuk merubah stigma yang menganggap kita sebagai bangsa sudra oleh warga Malaysia…





Dasan, Korea Selatan. 14 September 2009.

0 komentar:

Posting Komentar