KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

Padi, Oh… pagi!

Padi, Oh… pagi!

Hijau meluntur khidmat menunduk, berpagar berjajar meramu di untapan pagi. “dewi sri…! dewi sri…!kenapa kau telah meninggalkan layu dalam harapku? aku mendengar sayup sayu itu.” jelas Padi kepadaku di hamparan tanaman padi seberang kampung. Supadi atau biasa dipanggil Padi, sulung dari lima bersaudara, seorang pemuda pengangguran lonthang-lanthung yang dianggap stres di kampungku.

Pagi itu aku melihatnya berada di pematang sawah dengan raut muka aneh yang terkadang bergumam sendiri seakan sedang berbicara dengan seseorang.

Entah mengapa tiba-tiba aku ingin mendekatinya padahal dia hanyalah seorang yang menyesaki pundi-pundi yang telah tersisihkan di pojok tak berarti, terbawa dengan debu yang bikin sesak nafas, semerbak mewangi ampas tak berbilas yang hanya pantas digilas.

Dia memang terpinggirkan di kampungku, kerjaanya hanya kesana kemari seolah tanpa dosa numpang makan, tidur dan lainya kepada orang-orang kampung yang dengan sangat terpaksa menyisihkan secuil rasa kasihan buatnya. Rasa kasihan yang semakin lama menemukan batasnya sampai tak bersisa hingga orang-orang kampung mulai menutup pintu bagi Padi.

Sehela Padi moksa entah keberadaanya, ternyata ia menemukan hotel barunya di gardu pos kamling beberapa jengkal langkah dari balai desa.

Delapan tahun silam, ia adalah seorang mahasiswa sebuah Universitas Negeri yang mentereng di Yogyakarta, sebuah prestise dan harapan bagi dirinya maupun keluarga, maklumlah di kampungku hanya ada segelintir pemuda yang mampu kuliah apalagi di perguruan tinggi negeri ternama baru Padilah yang berada di atas angin pada masa itu, sedangkan kawan-kawan sebayanya paling hanya lulusan SMP, banyak yang terpaksa mewarisi petak-petak ladang dan sawah untuk bercocok tanam mengikuti tradisi turunan. Orang tua Padi yang juga petani memberontak dengan bekerja berpeluh keringat untuk menulang punggungi biaya kuliah Padi hingga akhir studynya bahkan dengan menyandang predikat cumlaude, derajat Padi meninggi bak seorang priyayi.

Kepulangan Sang priyayi dengan gelar kesarjanaanya seolah disambut para abdi dalem. Bibir menjunjung, ucap memuji, sua mengkagum seantero kampung bahkan sampai manca desa.

Memang begitulah, Padi seorang pemuda yang gagah dengan penampilan rapi berkharismatik ditambah titel dibelakang namanya mampu menggunung angankan orang-orang disekitar dan keluarga bangga penuh harap untuk menggapai bulan di langit.

Saatnya Padi menggulawentah gelar kesarjanaanya, mengawan meninggalkan peraduan demi menjinjing harapan namun tak lama kemudian Padi kembali membumi tanpa bulan di gengamanya. Padi mengumpulkan energi prana dalam dirinya untuk terbang lagi tetapi hanya kehampaan yang ia dapati. Ia mulai patah asa, bermodalkan ijazah kesarjanaan saja tidak cukup, Padi mengiba kepada orang tuanya untuk mengisi lumbung lumbung sakunya.

Dengan bermodalkan petak sawah yang terlipat di sakunya, Padi kembali mengangkasa. Belum sampai tujuan ia telah terjrembab ke tanah, begitupun bekal dalam sakunya ikut terbang terbawa angin. Tidak hanya sampai disitu, orang tua Padi mencoba mencari pinjaman bekal dari sanak saudara maupun tetangga dan hasilnya sudah dapat ditebak jangankan bulan rantingpun tak dapat ia raih. Sang priyayi mulai menampakan keganjilan, ia mulai berbicara ngalor ngidul. Orang tuanya mulai mengibarkan bendera putih, tidak mampu lagi berbuat banyak, lumbung-lumbung harta telah terkuras. Tiap kali ia mencoba untuk membumbung dan melambung, tiap kali itu juga ia tersandung. Kebiasaan yang tak lazim semakin menjadi, bertamasya sendiri berkeliling kampung, menyambangi rumah rumah para warga sembari berdendang sua dari mulutnya. Priyayi kehilangan keningratannya, terbuang tak terurus, terjungkal dalam kubangan sampah, menjelma paria yang hilang akalnya. Pujian berubah menjadi cemoohan, kekaguman menjadi hinaan, junjungan berubah cacian.

Suatu waktu kulihat dia berkunjung ke rumah joglo milik seorang warga kampung, sang wargapun memberi kudapan sekedarnya lalu dengan basa basi meminta Padi untuk segera beranjak, maklumlah warga itu masih termasuk pamong desa. Yah… masih mending ketimbang warga lain yang serta merta mengusir Padi hengkang ketika baru menginjak halaman rumah mereka. Tak seberapa lama ia berganti mengayunkan jejak langkahnya yang tak menentu ke serambi rumah, tempat biasa aku bersama tiga orang kawan bermasturbasi dengan khayal, membual, menghibah serta memuntahkan kepenatan kepenatan kami.

“si stress datang!” celetuk seorang kawan. “bikin rusak suasana aja!” tambah seorang kawan yang satu lagi.

Padi mendekat , bau peluh keringat merambat lambat, mencuat menyengat sangat. Kami mulai pasang kuda-kuda jurus tameng hidung. Tapi tak seperti biasa Padi yang selalu mengumbar ocehannya, sekarang hanya diam saja dan seolah menyadari kehadiranya tak diinginkan, ia bergegas enyah dari hadapan kami dengan meninggalkan senyum serta anggukan kepala seakan mau berpamitan kepadaku, dan tatapan mata itu ? Tatapan mata yang dulu seperti pernah kukenal, sewaktu kami masih sering berbincang bersama disebuah tempat dewi sri bersemayam, sebelum ia menimba ilmu di Kota pelajar. Berbincang tentang segala hal, tentang angan, tentang mimpi, tentang harapan. Sesosok yang cerdas, penuh ambisi untuk menjadi kebanggaan dan membahagiakan orang tua.

Kucuri lihat langkah Padi disela-sela kerumunan tumpukan kunjingan. Ia berjalan pelan menuju suatu tempat di seberang kampung.

Aku melihatnya lagi bersama dengan kawan-kawan dari serambi rumah, kali ini Padi tidak menginjakan kakinya ke tempat kami, hanya senyum dan anggukan yang masih ia arahkan kepadaku. Ingin aku membalasnya tetapi rasa malu menghegemoni, tak ingin aku dibilang berteman dengan Si gila oleh kawan-kawan dan orang kampung.

Untuk kerap kalinya, Padi melempar senyum dan anggukan dengan tatapan mata yang sama. Kali ini aku mencoba napak tilas tapak-tapak kakinya diantara jalan setapak itu, lumpur menyembur, becek mengejek. Seperti dugaanku ia telah berada di hamparan tanaman padi yang menguning tempat kita bersama dulu, duduk menunduk seorang diri lusuh dengan sweater biru bergaris kaku yang tak tahu dari kapan melekat dibadannya. Wajah tak berarti, sebagian tertutup rambut ikalnya yang memanjang. Memang benar telah berbeda dengan beberapa tahun lalu! langkahku mengayun pelan merapatkan dengannya.

“aku ingin menjadi padi, aku ingin berubah menjadi padi dalam dekapan dewi sri. padi yang tumbuh hijau lalu menguning matang, padi yang mengayomi tikus tikus, ular sawah, binatang binatang kecil, padi yang menjaga harmoni alam, padi yang menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang, padi yang selalu dilindungi Sang dewi sri!”

Pagi itu aku sudah tak mendapatinya lagi dipersemayaman dewi sri. Ia memang telah berubah, tapi apa yang salah dengan dirinya hingga ia menjadi terhina dikampung, bagiku ia tetaplah terhormat.

Aku sebarkan pandangan kepenjuru mata arah, namun tetap tak ku tangkap sosoknya hingga waktu ini, tak kudapati lagi Padi yang periang maupun Padi yang terbuang, tak kudapati lagi Padi yang penuh harap maupun Padi yang dianggap sarap, tak kudapati lagi Padi yang ingin membuat bangga maupun Padi yang hanya dicerca dan tak kudapati lagi Padi yang berambisi mengejar cita maupun Padi yang menggila. Hanya hamparan padi yang tertunduk mengangguk terhempas angin yang seolah melambai hendak ingin berbincang.

Diakah Padi yang tiap pagi? Apakah ia telah benar-benar menjadi padi dalam dekapan dewi sri, ah Entahlah!
(buat seorang disuatu tempat, Tuhan masih menyayangimu sobat)

0 komentar:

Posting Komentar