KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

Pucung* Suwung

Pucung* Suwung


Bapak pucung
dudu watu dudu gunung,
sabamu ing Sendhang,
pencokanmu lumbung kering,
prapteng wisma
si pucung mutah guwaya

Bapak pucung
dudu watu dudu gunung
sabamu ing sarung
yen adhem turumu nggelung
kaya enthung
ning yen isuk mesthi ngacung



Simbah menembang, nyiur senyap melanglang. Kicau, derik, desis dan belalangpun sudah tak ikut berkalang.
Tarmo bersenggama dengan buah tangan “kekinian”nya dari bumi seberang.

“le mo!”

“injih mbah!”

“coba kamu liat air di sendang sana itu !”

“kenapa mbah?”


Seklebat Tarmo melintaskan pandanganya ke aliran sungai di utara kampung.

“Tidak banyak berubah, masih saja tetap momong anak-anaknya yang mengalir dari kaki Gunung Lawu sambil sesekali anak-anaknya berbaur dengan penduduk, hewan gembala, ladang dan kebun di kampung kita. Mbah ingat betul bagaimana warna pelangi diatas sungai selalu memeluk, membopong, mengantarkan kami ke beranda rumah dengan setimba cerlang yang dibawa dari sendang itu. Gentong-gentong kamipun penuh dengan kaweruh ilmu nariman, ilmu kawicaksanan lan ilmu tepa sliro mring liyan. Walau untuk menginditnya harus meniti tapak terjal dan ranting ilalang, tetapi kami tak segan. Yah… meski sekarang sudah tak terdengar lagi gemricik menyambut teruntai syair jalak liar yang terbalut bulir embun.”

“gentong-gentong kang mawa cerlang yang simbah maksud sudah saatnya digantikan hal hal yang lebih mutakhir mbah. Tidak perlu bersimbah peluh dan terbercak lumpur untuk mendapatkan ilmu ilmu yang simbah maksud itu!”

“lho… ngelmu iku kelakone kanthi laku, untuk menjadi orang yang berilmu memang butuh usaha. Jer basuki mawa bea le!”

ngelmu iku kelakone kanthi udu mbah, kala mangsa sekarang ini uanglah yang pegang kendali. Jangankan orang mencari ilmu yang biayanya ngidap-idapi, orang mau buang air aja harus mbayar kok. Jer basuki mawa biaya…”

“Semua itu butuh proses le, jangan hanya ngomongke enaknya saja. Lekase lawan kas! Segala sesuatu sudah dimulai dari saat kita kerjakan, bukan sesuatu yang tiba tiba ada, Peluh dan lumpur menjadi bagian dari proses itu. Sebelang gogor yang kita lihat di ujung jalan kampung kemarin bisa saja njagakke pangan dari induknya tidak perlu bersusah turun gunung untuk mencari makan, tetapi kalau pada suatu kebetulan ia sudah tak berinduk, baginya akan lebih susah ngupaya pangan dibandingkan dengan gerombolannya yang tergulawentah bergaul dengan halang dan halau.”

lekase niku ing pungkas mbah, yang penting hasil akhir. Kalau ada suatu hal yang bisa ada cukup dengan menjentikan jari kenapa pula harus ndabyah ngobahke raga. Oyot rambat pasti akan merambat wonten papan kang kathah toyane, ulam-ulam ingkang wonten kedung tansah nglumpuk sak ngandape padma, begitu juga manusia mbah pasti akan berhilir ing papan ingkang luwih padang.”

Simbah menerpa mencoba menguntit gulir masa dari gengaman Tarmo. Pohon wartel di kebon samping rumah sekarang sudah tak berkawan, mengayunkan dahan gersangnya, menyerakan daun pekatnya di bekas bocah bocah bercengkrama.

tegese kas nyantosani. Urip kang santosa kui urip sing sugih kapinteran to le, kaya akan kebisaan. Nah kalau sudah sugih ing samubarang hasil yang kamu maksud itu tentu akan serta merta mengikuti.”

tegese kas haminteri. Orang yang sudah merasa memiliki kebisaan tak jarang bisanya hanya minteri, ngakali marang liyan. Adigang adigung adiguna, berwatak candala dan cidra lak nggih to? dumeh nduweni kaluwihan.”

“namanya juga manungsa le, jadi wajar punya sifat yang beda beda, urip mung sadremo nglakoni. Sing penting berbudi setia dengan nurani kita, setya budya pangekesing dur angkara.”

“berbudi yang bagaimana yang simbah bicarakan? apakah sekarang masih patut punya sikap berbudi pakarti, setya budya tekaning gur kapilara. Kalau kita hanya selalu bernalar budi, hidup kita hanya kan terindas dan disakiti.”

“lho.. lha kalau tidak mituhu dengan tindak tanduk kang becik seperti itu jadinya cuma leletheging jagad saja, sampahe ndonya!”

“meski leletheging jagad tetap saja masih manusia mbah, Gusti Pangeran menciptakan makluk beserta segala sesuatu sebagai bagian dari makluk itu. Simbah selalu ngendika kalu urip mung sak dremo nglakoni, biru akan tetap menjadi biru, tanah tidak akan bisa menjadi getah dan manungsa tetaplah menjadi titah. Hampalah yang akan dijumpa jika melawan ketetapanNya."

Simbah menjeda nafas, riak mukanya menerawang batas batas pandang. Hari itu memang tidak ada pelangi, bocah bocah mengembala ataupun daun talas yang berembun. Tetap Simbah menembang meski simpul Tarmo hanya memantang.

……………………………………………………………………………………………………







Dasan, Korea Selatan.Surya kaping 28 Mei 2010.

* Pucung (ana kalane tinulis pocung) tembang macapat kang ngelingke marang pepati. Pucung cedhak karo tembung pocong, pucung dienggo tembang kang bisa ngelingake marang manungsa yen urip ing ndonya ana pungkasane.
Ananging Pucung uga nduwe watak liya. Pucung iku jenenge wiji woh-wohan. Wanda cung uga marai gawe rasa seger kang ngelingake marang perkara kang lucu kaya dene isih jaman dikuncung. Tembang iki asring dienggo tembang-tembang kang uga lucu, kayata parikan utawa bedhekan.

0 komentar:

Posting Komentar