KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

Sang “Teroris” Belumlah Mati.

Sang “Teroris” Belumlah Mati.

Kondisi pencitraan Islam yang selalu terpojokan oleh aksi-aksi kekerasan maupun terorisme oleh kelompok tertentu di Indonesia senantiasa menyisakan pekerjaan rumah bagi umat muslim yang tinggal di negara-negara non muslim.

Tak terkecuali seperti halnya yang dilakukan oleh sebuah organisasi keislaman di Korea Selatan, Pumita Busan (Persaudaraan Umat Muslim Indonesia Al-Fatah Busan), pada Ahad (25/9) pukul 14.00 waktu setempat. Untuk mengcounter pernyataan-pernyataan yang intimidatif tentang islam, bertempat di Masjid Al Fatah Busan, Pumita Busan menerima kunjungan dari tokoh dan warga Nasrani Korea Selatan yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Islam namun di hari yang sama beberapa jam sebelum acara dimulai tedengar warta dari Indonesia bahwa terjadi ledakan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Jalan Arif Rahman Hakim, Solo, Jawa Tengah yang menyebabkan beberapa orang jemaat Gereja terluka dan satu orang yang diperkirakan sebagai pelaku tewas.

Korban tewas yang diduga sebagai pelaku bernama Ahmad Yosefa Hayat alias Ahmad Abu Daud ditenggarai merupakan tokoh jaringan pengebom di Masjid Adz Zikro lingkungan Mapolresta Cirebon pada Jumat 15 April 2011 yang lalu, entah dugaan ini benar atau tidak yang jelas kasus terorisme di Indonesia tersebut kembali mencederai perasaan umat Islam dibanyak Negara.

Sebelumnya memang sudah sering terjadi aksi pengeboman oleh terorisme di pelbagai daerah di Indonesia dan tokoh-tokoh pelaku pengeboman tersebut bukanlah orang sembarangan, sebut saja sang gembong teroris Noordin M Top, pria kelahiran Kluang Johor, Malaysia, 11 Agustus 1968, adalah seorang terpelajar lulusan University Teknologi Malaysia dan pernah menjadi seorang guru. Hijrah ke Indonesia setelah pemerintah Malaysia melakukan aksi pencarian teroris pasca tragedi WTC 11 September 2001, di Indonesia “berkongsi” dengan Dr Azhari yang juga bukan orang kacangan. Dr azhari adalah seorang insinyur bergelar Ph.D dari universitas Reading Inggris dan merupakan seorang dosen tetapi konon telah tertembak duluan dalam penyerbuan polisi anti teror di Batu Malang, Jawa timur, 9 November 2005.

Noordin M Top yang diberitakan tewas oleh tembakan sporadis pasukan anti teror Densus di desa Kepuh sari, Jebres, Jawa tengah, kamis 17 September 2009 langsung menjadi topik pembicaraan saat itu. Berbagai media, baik elektronik maupun cetak menyiarkan berita tersebut bak menjual kurma di bulan Saum yang laris manis. Beberapa hari kemudian Pejabat Kapolri membuat pernyataan resmi dan dengan “bangga” menyatakan bahwa salah satu korban tertembak adalah Noordin M Top.

Pernyataan Kapolri disambut tepuk tangan yang meriah seolah perburuan terhadap sang teroris telah qatam. Meski masih ada beberapa pihak yang meragukan kematian Noordin M Top dengan alibi dan argumen nya masing-masing, hal ini dapat dimaklumi atas ekses kinerja kepolisian yang beberapa kali mengalami "target error" dalam menangkap para teroris di Indonesia belum lagi ikhwan-ikhwannya (Amrozi cs) yang dicap sebagai pelaku teror bom Bali 12 oktober 2002 dengan menewaskan lebih dari 200 nyawa. Meski Amrozi cs berhasil ditangkap namun mereka tetap bungkam dan memilih dieksekusi menurut hukum di Indonesia begitupun dalam penangkapan-penangkapan teroris di tempat lain hanya orang-orang terdekat tokoh sentral teroris yang mampu “diculik” oleh kepolisian dan cuma bisa bungkam atau rela mati daripada membeberkan keberadaan tokoh intelektual di balik aksi-aksi tersebut.

Tewasnya pelaku pengeboman Gereja Bethel Sepenuh (GBIS) Solo, tentunya menyisakan pertanyaan apakah dia adalah tokoh qa’id (pemimpin) sentral ataukah hanya sebagai korban yang di “kambing hitam”kan karena dengan meninggalnya pelaku sekali lagi membungkam akses jaringan terorisme di Indonesia, pun bukti-bukti yang ditemukan di sekitar (TKP) Tempat Kejadian Perkara bisa jadi adalah faktor kesengajaan sebagai pengalih perhatian untuk “memagari” sang penulis skenario yang menjadikannya sebagai korban.

Kalaulah demikian berarti sang penulis skenario pastilah seorang “grand master” yang handal karena mampu menjalankan pion-pion sekaliber Noordin M Top, Dr Azhari, Amrozi dan munculnya kelompok jaringan Cirebon yang telah meledakan Masjid Adz Zikro Cirebon dan Gereja Bethel Sepenuh (GBIS) Solo. Bidak caturnya saja mampu membuat teror bagi begitu banyak masyarakat dan mempunyai doktrinisasi yang ampuh dalam “meminang pengantin” (sebutan untuk pelaku bom bunuh diri yang direkrut).

Teror yang dilakukan kelompok-kelompok ini diracik dengan bumbu jihad sedemikian rupa sehingga nampak ajib untuk dimakan dan mengundang orang untuk menikmatinya, sebuah teror yang terus menghantui serta membuat trauma bagi korban dan warga masyarakat lainnya.

Dalam kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo. terbebas ada tidaknya tokoh intelektual yang mendalangi semuanya itu, jangan merasa aneh kalau sebenarnya sang pelaku teror belumlah mati (baca konsep-konsep doktrinisasi teror). Tugas kepolisian barulah sampai sebatas mengungkap identitas pelaku sedangkan untuk mematikan formulasi teror yang disuntikkan pelaku adalah tugas yang ada didalam diri kita masing-masing sebagai individu maupun kelompok.

Karena menilik dari bahasannya, teror merupakan kondisi takut akan bahaya yang mungkin terjadi, ditandai dengan kebingungan atas tindakan yang harus dilakukan. Sedangkan terorisme adalah bentuk nyata dari teror. Dengan kata lain teror yang diserang adalah perasaan kita. Serangan terhadap perasaan akan menimbulkan efek yang tak kalah ngerinya dibandingkan dengan serangan bom bom di negeri kita. Pemahaman kita diputar sedemikian rupa untuk menerima kebenaran ala sang empu dan kemudian menyebar bagaikan virus. Penyerangan semacam ini selain sang target terkena “bidik”, orang–orang disekitarpun akan terkena “selongsong”nya dan tentu saja akan memunculkan ketidak tenangan dan trauma yang mendalam bagi lebih banyak orang.

Jadi siapkan naluri dan kewaspadaan kita untuk menghadapi "strategy of power" dari nuklir-nuklir teror lainnya kalau tidak ingin hancur berkeping-keping.

0 komentar:

Posting Komentar