KawulosejatiSejatiningkawulo

Aku adalah dia, dia adalah aku

"hidup bukan pilihan melainkan ketetapan yang harus dijalani, hidup bukan pula pertanyaan melainkan jawaban yang harus ditindaki" ( Winarno Hadi Saputro, 2007 )

Tentang Kawulo

“aku datang dari balik kabut hitam, aku mengarungi samudera darah, akulah pangeran kegelapan. Kan ku remas matahari di telapak tanganku. Kan ku pecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. kan ku buat dunia berwarna merah."

Sang “Teroris” Belumlah Mati.

Sang “Teroris” Belumlah Mati.

Kondisi pencitraan Islam yang selalu terpojokan oleh aksi-aksi kekerasan maupun terorisme oleh kelompok tertentu di Indonesia senantiasa menyisakan pekerjaan rumah bagi umat muslim yang tinggal di negara-negara non muslim.

Tak terkecuali seperti halnya yang dilakukan oleh sebuah organisasi keislaman di Korea Selatan, Pumita Busan (Persaudaraan Umat Muslim Indonesia Al-Fatah Busan), pada Ahad (25/9) pukul 14.00 waktu setempat. Untuk mengcounter pernyataan-pernyataan yang intimidatif tentang islam, bertempat di Masjid Al Fatah Busan, Pumita Busan menerima kunjungan dari tokoh dan warga Nasrani Korea Selatan yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Islam namun di hari yang sama beberapa jam sebelum acara dimulai tedengar warta dari Indonesia bahwa terjadi ledakan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Jalan Arif Rahman Hakim, Solo, Jawa Tengah yang menyebabkan beberapa orang jemaat Gereja terluka dan satu orang yang diperkirakan sebagai pelaku tewas.

Korban tewas yang diduga sebagai pelaku bernama Ahmad Yosefa Hayat alias Ahmad Abu Daud ditenggarai merupakan tokoh jaringan pengebom di Masjid Adz Zikro lingkungan Mapolresta Cirebon pada Jumat 15 April 2011 yang lalu, entah dugaan ini benar atau tidak yang jelas kasus terorisme di Indonesia tersebut kembali mencederai perasaan umat Islam dibanyak Negara.

Sebelumnya memang sudah sering terjadi aksi pengeboman oleh terorisme di pelbagai daerah di Indonesia dan tokoh-tokoh pelaku pengeboman tersebut bukanlah orang sembarangan, sebut saja sang gembong teroris Noordin M Top, pria kelahiran Kluang Johor, Malaysia, 11 Agustus 1968, adalah seorang terpelajar lulusan University Teknologi Malaysia dan pernah menjadi seorang guru. Hijrah ke Indonesia setelah pemerintah Malaysia melakukan aksi pencarian teroris pasca tragedi WTC 11 September 2001, di Indonesia “berkongsi” dengan Dr Azhari yang juga bukan orang kacangan. Dr azhari adalah seorang insinyur bergelar Ph.D dari universitas Reading Inggris dan merupakan seorang dosen tetapi konon telah tertembak duluan dalam penyerbuan polisi anti teror di Batu Malang, Jawa timur, 9 November 2005.

Noordin M Top yang diberitakan tewas oleh tembakan sporadis pasukan anti teror Densus di desa Kepuh sari, Jebres, Jawa tengah, kamis 17 September 2009 langsung menjadi topik pembicaraan saat itu. Berbagai media, baik elektronik maupun cetak menyiarkan berita tersebut bak menjual kurma di bulan Saum yang laris manis. Beberapa hari kemudian Pejabat Kapolri membuat pernyataan resmi dan dengan “bangga” menyatakan bahwa salah satu korban tertembak adalah Noordin M Top.

Pernyataan Kapolri disambut tepuk tangan yang meriah seolah perburuan terhadap sang teroris telah qatam. Meski masih ada beberapa pihak yang meragukan kematian Noordin M Top dengan alibi dan argumen nya masing-masing, hal ini dapat dimaklumi atas ekses kinerja kepolisian yang beberapa kali mengalami "target error" dalam menangkap para teroris di Indonesia belum lagi ikhwan-ikhwannya (Amrozi cs) yang dicap sebagai pelaku teror bom Bali 12 oktober 2002 dengan menewaskan lebih dari 200 nyawa. Meski Amrozi cs berhasil ditangkap namun mereka tetap bungkam dan memilih dieksekusi menurut hukum di Indonesia begitupun dalam penangkapan-penangkapan teroris di tempat lain hanya orang-orang terdekat tokoh sentral teroris yang mampu “diculik” oleh kepolisian dan cuma bisa bungkam atau rela mati daripada membeberkan keberadaan tokoh intelektual di balik aksi-aksi tersebut.

Tewasnya pelaku pengeboman Gereja Bethel Sepenuh (GBIS) Solo, tentunya menyisakan pertanyaan apakah dia adalah tokoh qa’id (pemimpin) sentral ataukah hanya sebagai korban yang di “kambing hitam”kan karena dengan meninggalnya pelaku sekali lagi membungkam akses jaringan terorisme di Indonesia, pun bukti-bukti yang ditemukan di sekitar (TKP) Tempat Kejadian Perkara bisa jadi adalah faktor kesengajaan sebagai pengalih perhatian untuk “memagari” sang penulis skenario yang menjadikannya sebagai korban.

Kalaulah demikian berarti sang penulis skenario pastilah seorang “grand master” yang handal karena mampu menjalankan pion-pion sekaliber Noordin M Top, Dr Azhari, Amrozi dan munculnya kelompok jaringan Cirebon yang telah meledakan Masjid Adz Zikro Cirebon dan Gereja Bethel Sepenuh (GBIS) Solo. Bidak caturnya saja mampu membuat teror bagi begitu banyak masyarakat dan mempunyai doktrinisasi yang ampuh dalam “meminang pengantin” (sebutan untuk pelaku bom bunuh diri yang direkrut).

Teror yang dilakukan kelompok-kelompok ini diracik dengan bumbu jihad sedemikian rupa sehingga nampak ajib untuk dimakan dan mengundang orang untuk menikmatinya, sebuah teror yang terus menghantui serta membuat trauma bagi korban dan warga masyarakat lainnya.

Dalam kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo. terbebas ada tidaknya tokoh intelektual yang mendalangi semuanya itu, jangan merasa aneh kalau sebenarnya sang pelaku teror belumlah mati (baca konsep-konsep doktrinisasi teror). Tugas kepolisian barulah sampai sebatas mengungkap identitas pelaku sedangkan untuk mematikan formulasi teror yang disuntikkan pelaku adalah tugas yang ada didalam diri kita masing-masing sebagai individu maupun kelompok.

Karena menilik dari bahasannya, teror merupakan kondisi takut akan bahaya yang mungkin terjadi, ditandai dengan kebingungan atas tindakan yang harus dilakukan. Sedangkan terorisme adalah bentuk nyata dari teror. Dengan kata lain teror yang diserang adalah perasaan kita. Serangan terhadap perasaan akan menimbulkan efek yang tak kalah ngerinya dibandingkan dengan serangan bom bom di negeri kita. Pemahaman kita diputar sedemikian rupa untuk menerima kebenaran ala sang empu dan kemudian menyebar bagaikan virus. Penyerangan semacam ini selain sang target terkena “bidik”, orang–orang disekitarpun akan terkena “selongsong”nya dan tentu saja akan memunculkan ketidak tenangan dan trauma yang mendalam bagi lebih banyak orang.

Jadi siapkan naluri dan kewaspadaan kita untuk menghadapi "strategy of power" dari nuklir-nuklir teror lainnya kalau tidak ingin hancur berkeping-keping.

Aku, Kamu, Doamu dan Bulan Juli

Aku, Kamu, Doamu dan Bulan Juli
( Bag II )



“Maaf! Aku sudah tidak percaya lagi kata hatiku.” Jawab lelaki.

Langit berganti warna menjadi merah, perempuan tak berkata lagi, ia beranjak tak menolah lalu berangsur hilang dibalik kabut. Dengan hati yang perih, pandangan lelaki menyusur mengantarkan langkah perempuan itu. Entah gejolak apa yang terpasak dibenak hingga ia begitu saja mengacuhkan peristiwa nyata di depan yang selama ini hanya menjadi angan angin semata, wanita yang diharapkan imbalan rasa cintanya justru ia abaikan disaat sang wanita membutuhkan jawaban akan cintanya itu.

“Semoga engkau menemukan bahagia, aku tidak pantas untuk kau cintai.” Kilah lelaki dalam hati.

Langit berganti warna menjadi kuning, wanita itu benar-benar lenyap dilahap senyap, lelaki sejatinya tetap berandai akan pertemuan di bulan juli berikut tentunya dengan perasaan yang tak sama. Perasaan bukan tentang cinta, perasaan bukan soal doa dan perasaan bukan perihal harapan melainkan perasaan biasa yang tidak bercampur dengan cinta beserta segala bayangannya.

“Diapun telah pergi, doamu tentangku sesungguhnya sama halnya dengan doaku tentangmu tapi aku hanya menginginkanya di waktu yang berbeda.” Benak berteriak.

Langit berganti warna menjadi hitam, suara-suara lengang mulai terngiang, lelaki terbungkam malam ia tetap tertonggak tak beranjak, angannya bersetubuh dengan kabut-kabut petang. Angan yang kemudian mendadak mengintai mengurai bingkai kenangan dengan sang wanita di masa lalu.

“Oh Tuhan, dia begitu anggun, biarkan ku membangun surga denganya.” gumam lelaki menganyam menjadi bulir-bulir doa pada suatu ketika. Ia memang selalu mengagumi wanita itu dari saat berjumpa untuk pertama kalinya. Beberapa lama ia mengungkum kegagumannya hingga pada satu waktu di sudut taman lelaki membuka kata.

“Seorang lelaki menunggumu di pintu taman.” Ucap lelaki menapaki langit hati berharap akan ada sebinar cercah diantara metafora kata yang ia lanturkan.

“Maaf kiranya sampaikan kepadanya untuk tidak menungguku.” abai wanita meruntuhkan tonggak-tonggak rasa dan mulai saat itu hanya gores doa bias yang lelaki bisa perbuat.

Langit berganti warna menjadi hijau, bulan Juli pagi tadi lelaki benar-benar tak menyangka setelah ia memasung doanya selama ini tiba-tiba ia berhadapan lagi dengan wanita yang pernah menggaungi hatinya.

“Ternyata lelaki yang menungguku di pintu taman itulah yang selalu hadir dalam doaku.” lontar wanita menjalar melintar menyentakkan sanubari. Lelaki terhentak ternyata sang wanita mengharapkan dalam doanya.
Ia terhujam diam karena terlanjur mengubur membekukan harapannya dan menganggap sang wanita sebagai sosok lain di hatinya. Lelaki mengacuhkan peristiwa nyata di depanya itu, satu dua kata tercercap, wanita pergi terlahap senyap.

Lelaki hanya termangu menyisakan serpihan luka yang ia balaskan terhadap wanita kendati iapun juga terluka telah mengingkari kata hatinya. Ia masih terus berpikir karena menyiakan apa yang telah ada di hadapan dan waktu bisa saja merenggut dengan bengis apa yang ia citakan semenjak lama itu untuk selamanya.

Langit berganti warna menjadi biru, satu warsa tertapaki di bulan dan tempat yang sama sang lelaki mencoba menanti namun ia tetap tak mendapati wanita itu bahkan bayanganyapun tidak.

Langit berganti warna menjadi abu, sayup sayup aroma petang mulai menerjang sosok wanita tetap tak terpancang. Lelaki masih tetap menanti sembari menahan memar di hatinya, memar yang kian lebar tersayat bulan sabit yang mulai terintip dihulu malam, namun ia percaya bahwa satu hal di dunia ini yang bisa melebihi kekuatan takdir hanyalah sebuah cinta.




Dasan, Korea Selatan. 18 September 2011.



Sifat dan karakter warna;
Merah :
Warna merah melambangkan kondisi psikologi yang menguras tenaga, warna ini mampu memberi dorongan untuk bekerja lebih aktif, erotisme dan produktivitas.

Kuning :
Melambangkan kegembiraan, warna ini mempunyai sifat longgar, santai dan mempunyai cita-cita yang tinggi, semangat tinggi, berubah-ubah dan penuh harapan.

Hitam :
Melambangkan kehidupan yang terhenti dan karenanya memberi kesan kehampaan, kegelapan.

Hijau :
Warna hijau melambangkan adanya suatu keinginan ketabahan dan kekerasan hati, mempunyai kepribadian yang keras dan berkuasa.

Biru :
Warna biru tua melambangkan ketenangan yang sempurna, warna ini memiliki efek yang menenangkan saraf pusat, tekanan darah, denyut nadi, tarikan nafas.

Abu-abu :
Warna abu-abu tidak menunjukkan arti yang jelas, tidak terang dan sama sekali bebas dari kecenderungan psikologis.

Sajak Termangu

Sajak Termangu

Dekat, dekat, dekat. datang, datang, datang.

"goblok...!“

“bangsat…!”

"anjing…!”

“tai…!”

“bajingan…!”

“lonthe…!”

“goblok, bangsat, anjing, tai, bajingan, lonthe!” Benak menghujat, caci meluap.

Sajak dalam manguku,

Oh Gusti! Sembuhkanlah pikiranku dari keangkuhan-keangkuhan.
Jadikan kepengecutanku yang telah tumpah guna menggantikan penyesalan.
Jernihkanlah jiwaku dari kehinaan.
Jadikan duka deritaku menjadi tumbal kebeningan jiwa.
Usirlah seonggok kebodohanku untuk menumbuhkan kebijakan.
Sirnakanlah kedunguan dan permalukan aku untuk kau gantikan dengan tunas-tunas kesadaran.
Hinakanlah dan rendahkanlah aku demi meninggikan derajatku.
Hukumlah aku untuk menebus kepicikanku asal kau suntikan kebajikan.



Hampa, hampa, hampa. Senyap, senyap, senyap.

brengsek...
“.......



Dasan, Korea Selatan. 23 Mei 2011

Sembab Mereka

Sembab Mereka

Genta meretakkan pilar-pilar jiwa
Manusia dan purnama saling berebut rasa
Bocah-bocah gembala di tepi sana mulai tak bersuara
Baru kemarin sore kulihat mereka bercengkrama.

Hari itu begitu sumringah, para penjaja keringat berbaur dengan tanah
Hari ini embunpun bergetah, langit hijau tinggalkan lelah
Hari esok masih entah.

“Mari mengejar fajar!”suara suara berujar.
Dari balik caping mereka bukan memburu, hanya berlaku sekedar mengusap dahaga.
Tidak harus berpura dengan kabut-kabut yang mulai merebut dunianya
Hingar warna langit mulai luntur…..
Jalan setapak sudah tak nampak….
Kaki-kaki berlumpur terkungkum masa yang menggeliat.

Cakrawala enggan bercerita ceria,
Sembab….
Senyap….
Sepat…







Dasan, Korea Selatan. 23 maret 2011.
(Suatu ketika diawal musim semi, 12: 20 )

Perempuan di bawah Gerhana

Perempuan di bawah Gerhana

Perempuan itu tersayat-sayat hampir sekarat, tubuh rebah terlentang nyaris telanjang. Sementara seorang Pria duduk tetegun pilu di sisinya. Ratap pria itu meluap seiring bayangan bulan yang semakin tertutup jagad, sang pria hanya menggelengkan kepala belum percaya dengan apa yang telah ia perbuat terhadap teman sepermainannya semenjak kecil itu. Ia belum yakin dengan kenyataan yang dihadapinya. Hanya suara-suara entah mengintai yang bisa didengar.

Pria
apa yang telah aku lakukan?"

Perempuan
“kenapa kau berbuat ini kepadaku?” ( suara terbata, tertatih lirih ).

Suara
semua telah buyar, lihatlah tubuhnya yang tergolek tak berdaya! bajunya koyak moyak hampir telanjang, engkau telah merebut keperawanannya dan menebar benih tanpa ia mau. Kau melukai orang yang kau kasihi, kau melenguh nikmat menindih tubuhnya yang tak kuasa.”

Pria
aku tak bermaksud melakukanya, tiba-tiba saja sesuatu memburuku untuk berbuat itu.”

Suara
hanya karena bisikan-bisikan hampa engkau mempercayainya? semuanya telah terbutakan! waktu akan merenggut dengan bengis kisah hidup yang telah terukir, moksalah apa yang telah kau citakan semenjak lama.”

Pria
lama aku mengenalnya, aku hanya ingin dia tahu betapa berartinya dia bagiku.”

Suara
”sadarkah kau! Ketika ingin mencoba memberi arti kasihmu padanya dengan cara seperti ini justru bisa menjadi pedang yang akan terus mengikutimu dan siap memenggalmu kapan saja.”

Pria
dibalik raut wajahmu nan elok itu, kau laksana mawar berduri, indah tetapi mempunyai duri yang bisa menyakitkan. Meski Aku tahu bahwa duri-duri itu tumbuh begitu saja tanpa kau minta, kedekatan yang kurasa justru menjadi sekat untuk merajut benang kasih diantara kita.”

Suara
“Apa guna kau bisiki orang yang sudah mati? sekali terperosok dalam nista,usaha kan muspra, kepedihan yang bergolak dalam hati tak akan pernah berhenti memotong rencana esokmu yang cemerlang.”

Pria
kalau semua daya usaha tak lagi berguna untuk apa mengurusi dunia yang renta dan mustahil untuk disembuhkan, bukankah tak ada lagi masa depan yang menyambut hangat bagi manusia?”

Suara
daya upaya akan gantikan pesakitan didunia, pagikan hilang petangpun membayang dan akan menjadi cerita lama lahan kesadaran akan datang terlambat mewariskan cerita pedih yang tak mudah terlupa.”

Pria
apa yang harus aku perbuat? derita ini semakin menggebu di jiwa, kesenangan sesaat yang kurasa telah berubah menjadi siksa.”

Suara
perasan tersiksamu barulah secuil daripadanya, kau harus menyudahi polahmu!”

Pria
kenapa tiba-tiba ada yang aneh dalam sosok ini, tiap aku melakukan sesuatu dingin dan tenang namun kali ini aroma kecemasan dan kegundahan menghantui, bau anyir berhembus, mautpun serasa begitu dekat. Semua memang harus disudahi dan aku tidak akan jadi pengecut karena untuk menjadi pemberani memang sebuah harga yang tak ternilai untuk dibayar, aku harus mengakhiri siksan ini. Yah...aku tak punya pilihan lain karena satu satunya hal yang bisa dipilih di dunia ini adalah membunuh diri sendiri.”

Pria meraih belati lalu menghujamkan tepat dijantungnya. Darah mengucur, tubuh tersungkur, nafas terhambur bersamaan dengan kalimat terakhir yang ia sematkan di telinga sang perempuan.

Pria
“karena cintaku padamu aku lakukan ini.” *

Perempuan tersentak, ia tak ingin sang pria mati begitu mudah. Namun apa kuasa tubuh perempuan itu bergolek tak berdaya, bisa merasa, bisa mendengar, bisa melihat tapi tak bisa berbuat apa-apa hanya kepedihan yang ia rasakan semakin menyayat disela suara suara senyap di bawah gerhana malam.






Dasan, Korea Selatan. 12 Maret 2011

LENTERA SULUH

LENTERA SULUH


Nyala senthir berangsur mengkerut, tangan kisut sosok senja berusaha membata bara dari tiupan Bathara Bayu di awang-awang.

Rambut urainya memang sudah tak lagi legam, tubuhnya yang renta berjalan di sela hawa petang. Terabai, mengikis dingin dibalik jarik usang yang selalu ia sandang ketika gelap menjelang. Dengan pelan ditaruhnya senthir pada batang pohon jati di jalan depan rumahnya.

“tinggal engkaulah yang masih ada di dekatku” lirihnya, sementara tatapanya terlempar melingkar pada jala-jala malam dan sebentang jalan kecil dihadapanya. Jalan kecil di depan rumahnya yang tiap malam terinjak hilir lalang orang-orang kampung.

Mbah Pala, nenek berusia barat itu tinggalah arungi kehidupan seorang diri suaminya meninggal satu setengah windu yang lalu membekaskan abu kejayaan sebagai mantan lurah di sebuah desa kecil. Tak tersirat dibenaknya akan keadaan seperti sekarang ini, suami, anak dan orang-orang terdekat melekang satu demi satu dalam tenggang yang tak begitu renggang.

Bermula dari suaminya yang oleh warga dipanggil dengan Mbah Lurah Karjo Soemitro. Meski wahyu lurah yang diterima Mbah Karjo merupakan warisan secara temurun dari kakek, Ayah kemudian dirinya tetapi keberadaanya benar benar menjadi tuladha bagi warga kampung.

Mbah Karjo mangkat 12 tahun yang lalu, rentang dua minggu kemudian dua putranya yang juga menjadi pamong menyusul kematian sang Rama. Konon karena pagebluk yang melanda desa, banyak warga yang meninggal mendadak, pun tak luput trah Karjo Soemitro yang harus merelakan tiga anggota keluarganya sekaligus. sementara putranya yang satu lagi telah menghadap Gusti Pangeran ketika usianya belum genap satu dasa tahun sedangkan putri satu satunya juga telah diboyong seorang juragan keturunan Tionghoa di Kota.

Masih tersemat lekat diingat Mbah Pala, wismanya yang begitu besar terngiangi canda riang putra-putrinya, tangis manja cucu-cucunya dan hirau peduli dari suami yang begitu dikasihinya. Kehidupanya penuh dengan kesukaan, tak ada senyap yang menyergap.

Kediaman mbah pala yang berada diujung desa memang dulu selalu nampak ramai tidak hanya oleh anggota keluarga saja tetapi juga warga yang sowan untuk sekedar sambung rasa, nguda rasa, berkeluh beserta tethek bengeknya. Mbah Lurah Karjo benar benar menjadi suluh bagi warganya.

Namun kini semua begitu lengang dan sunyi, dengan menginjak jalan tanah bersepah berhambur daun jati kering, Mbah Pala berusaha bertahan memberikan suluh dengan lentera senthir yang selalu ditaruh dijalan depan rumah untuk menerangi orang-orang yang melewatinya. Kendati berat Ia mencoba untuk tetap terjaga.

Tetapi hawa dimalam itu memang nampak tak biasa, dinginnya angin serasa menusuk pori pori, awan kelam yang menutupi purnama beranjak mengajak angan Mbah Pala kembali kemasa lalu ketika masih beserta orang-orang terdekat yang disayanginya. pohon jati depan rumah bergesek merengek seolah ikut meratapi kesedihan yang dirasakan wanita tua itu.
Perasaan menyandera, kelopak-kelopak mata sayup, batin terlunta.

Pandangan Mbah Pala tak lepas dadi lenthera suluh di depannya, matanya mulai berkaca mengurai kenangan bersama orang-orang tercinta yang terlebih dahulu meninggalkan. Dengan menahan isak dibenak, Sang wanita senja bersua dalam lara

“biarlah kau jadi lentera suluh kan kutemani kau sampai nyala terakhir” .

Meredup… pudar… hambar… ( Teruntuk Alm. Mbah Putri, Februari 2007 )


Dasan, Korea Selatan. 26-2-2011.


- Senthir : lampu yang bahan bakarnya dari minyak tanah atau getah.
- Awang-awang : ruang di atas bumi; angkasa.
- Bathara Bayu : nama dewa penguasa angin dalam dunia pewayangan yang ditugaskan mengatur dan menguasai angin
- Jarik : kain yang dihiasi dengan motif batik. banyak dipakai oleh kaum wanita. Para wanita Jawa, wanita Sumatra, Wanita Tionghoa, dll.
- Pala : kepala (kepala desa)
- Pagebluk : wabah (penyakit); epidemi.
- Suluh : barang yg dipakai untuk menerangi.

"Warung surga”

"Warung surga”



Dua orang kawan lama, Parmin dan Dirjo terlibat percakapan primordial di depan pintu surga.



Parmin : “Kanggoku sing paling enak kui yo soto jo.”

Dirjo : “Sing paling enak yo opor.”

Parmin : “Ora jo! liyane soto ora enak.”

Dirjo : “Opor tetap wae luwih enak ketimbang soto”

Parmin : “Lha rumangsamu opormu kui sing paling enak?”

Dirjo : “Lhoh, kowe sing ngarani sotomu paling enak."

Parmin : “kandani ngeyel, kowe sesat!”

Dirjo : “Kowe ngarani aku sesat, kowe sing kafir!”

Parmin&Dirjo : “Padu ae….!”

Sumidi : “Oalah mas-mas, arep podo-podo mangan ae malah do udur. Ora sido mangan malah padu dewe-dewe. Enthuk-enthukane luwe, awak babak bondas ugo isih ngganggu wong liyo sing arep mangan. Wis aku mlebu dhisik ae! aku arep mangan sate jamu."









Dasan, Korea Selatan. 01:55, 26 november 2010.